NIKEL.CO.ID, JAKARTA- Kebijakan moratorium pembangunan smelter nikel berteknologi pirometalurgi rotary klin-electric furnace (RKEF) belum juga direalisasikan pemerintah hingga kini.
“Kita belum ada pembahasan-pembahasan seperti itu, kita terus saja memastikan bahwa pasokannya cocok, keekonomiannya masuk,” ungkap Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM Dadan Kusdiana dikutip dari laman bisnisekonomi.com, Selasa (30/1/2024).
Diketahui, moratorium pembangunan smelter nikel berteknologi RKEF ini sudah lama didengungkan tepatnya pada akhir tahun 2022. Di tahun tersebut, harga turunan nikel, seperti nickel pig iron (NPI), Feronikel (FeNi), dan nickel matte mulai merosot akibat pasokan yang berlebih dari Indonesia.
Sementara, satu tahun belakangan, sebagian pelaku usaha tambang hingga pengolahan bijih nikel kadar tinggi atau saptrolite itu telah lama mendorong moratorium selepas harga komoditas turunan yang mulai merosot satu tahun belakangan.
Berdasarkan data Badan Geologi Kementerian ESDM 2021, sumber daya bijih nikel mencapai 17,68 miliar ton dengan cadangan 5,24 miliar ton. Untuk sumber daya logam nikel mencapai 177 juta ton dengan cadangan 57 juta ton.
Sekretaris Umum Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (Sekum APNI) Meidy Katrin Lengkey, menjelaskan dari data yang dimiliki APNI hingga akhir 2023 terdapat 76 pabrik yang masih mengolah pirometalurgi atau RKEF.
“Dimana hasil produksinya NPI atau feronikel menuju nickle matte itu semua ke stainless steel. Dan pengolahan hidrometalurgi untuk mengolah bahan baku baterai itu, yang NMC nanti ya ke baterai katoda, menjadi NMC nikel mangan sulfat, itu baru 4 atau 5 pabrik pengolahan hidrometalurgi,” jelasnya.
Artinya, lanjut dia, total kapasitas produksi dari pabrik pabrik pengolahan nikel di Indonesia saat ini masih mayoritas untuk stainless steel.
Selain itu, dirinya menyampaikan bahwa saat ini nikel Indonesia oversupply. Dari hal itu, muncul kekhawatiran mengenai cadangan. Bahwa jika nikel terus terus digunakan, maka cadangannya akan habis.
“Kalau kami berhitung, faktornya adalah kekhawatiran kami, mengenai cadangan. Kembali lagi cadangan. Indonesia nomor 1, tapi kalau nikel dimakan makan dimakan terus, kan ini nikel tidak beranak lagi ya. Nah mau gak mau kan nikel makin habis. Ini yang menjadi kekawatiran kita, termasuk juga dengan adanya pabrik pabrik yang makin bertambah kalau kita bilang jorjoran banget nih hilirisasi nikel,” terangnya.
Meidy menerangkan di tahun 2023, kebutuhan bijih nikel lokal atau domestik hampir 160 atau 170 juta ton. Lalu, di tahun 2024 ini ada konsumsi sekitar 230 sampai 240 juta ton bijih nikel.
“Kita berhitung cadangan kita yang terukur di tahun 2019 kemarin kan hanya 4,4 miliar itu. Itu pun terbagi dari 3,6 miliar ton untuk bijih nikel kadar rendah. Kemudian hanya 900 juta ton untuk bijih nikel kadar tinggi, atau saprolite,” jelasnya.
Sedangkan, lanjut dia, pabrik-pabrik pengolahan saat ini, kebanyakan masih mengkonsumsi bijih nikel kadar tinggi.
“Berarti kan sustainable pabrik ini kan hanya bertahan berapa tahun. Mungkin gak sampai 4-5 tahun nantinya. Nah solusinya apa?. Dari kami adalah satu, bagaimana kita menjaga cadangan kita buka lahan baru, masih banyak areal areal baru yang belum dibuka. Kemudian yang kedua, bagaimana kita menjaga kualitas nikel itu untuk tidak jorjoran, mengambil bijih nikel kadar tinggi. karena bijih nikel kadar rendah juga tetap bisa digunakan oleh pabrik pabrik atau smelter smelter yang sudah eksisting saat ini,” tuturnya. (Lili Handayani)