Beranda Artikel Peluang dan Tantangan Hilirisasi Nikel

Peluang dan Tantangan Hilirisasi Nikel

5004
0

NIKEL merupakan komoditas mineral strategis Indonesia dimana Indonesia termasuk dalam 10 besar negara penghasil Nikel di dunia dengan total cadangan 5,74% dari total cadangan dunia.

Data US Geological Survey menyebutkan bahwa dari 80 juta metric ton cadangan Nikel dunia, hampir 4 juta metric ton tersimpan di Indonesia, sehingga Indonesia berada di peringkat ke-6 dunia dengan deposit Nikel terbesar di dunia.

Berdasarkan data dari Kementerian ESDM tahun 2020, ketahanan cadangan Nikel di Indonesia mencapai 2,6 miliar ton cadangan dengan umur cadangan mencapai 27 tahun.

Permintaan Nikel secara global diperkirakan akan mencapai 4,6% pada 2025, dan terus meningkat hingga 2030 mendatang. Nikel di Indonesia umumnya terdapat dalam bentuk endapan nikel lateritic (Fe & Co), berada di permukaan batuan dasar ultramafic sebagai hasil pelapukan kompleks dari ofiolite (pengkayaan).

Karakteristik Nikel Laterit

Pada biji nikel laterit terdapat beberapa bahan baku yang dapat di peroleh dari hasil penambangan nikel antara lain:

a. Bahan Baku HPAL (Proses Hidrometalurgi)
  • Teknologi Ekstraksi Ni dari bijih Laterit dengan Jalur Hydrometalurgi
  • Proses Caron—KombinasiantaraPiro-hydro.
  • Pressure/High Pressure Acid Leaching (PAL/HPAL)
  • Enhanced Pressure Acid Leaching (EPAL)
  • Atmospheric Agitation Leaching
  • Heap Leaching
b. Bahan baku RKEF (Proses Pirometalurgi)

Bijih tipe limonite berkadar Ni rendah, yang tidak bisa dimanfaatkan dalam teknologi Pyrometalurgy, justru menjadi bahan baku utama HPAL (Hydrometalurgy).

Larangan Ekspor Bijih Nikel

Pendorong utamanya ialah penggunaan baterai pada kendaraan listrik. Kementerian ESDM memutuskan mulai tanggal 1 Januari 2020 diberlakukan pelarangan ekspor bijih Nikel dengan kadar di bawah 1,7%. Keputusan tersebut dalam rangka menjaga cadangan Nikel dengan mempertimbangkan keberlanjutan pasokan bahan baku dari smelter yang sudah ada.

Pelarangan ekspor juga bertujuan untuk mendukung program pemerintah dalam percepatan program mobil listrik. Industri mobil listrik sangat bergantung terhadap komoditas Nikel sebagai bahan baku pembuatan baterai mobil listrik.

Program tersebut tertuang dalam Peraturan Presiden No. 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik berbasis Baterai untuk Transportasi Jalan.

Pemanfaatan Bijih Nikel

Pemanfaatan bijih Nikel bagi industri Mobil Listrik mengundang banyak perusahaan yang ingin mengamankan ketersediaan bahan bakunya dengan menguasai cadangan sumber daya alam Nikel Indonesia. Oleh karena itu, Indonesia perlu merespons langkah strategis dengan meningkatkan nilai Nikel melalui hilirisasi.

Hilirisasi pertambangan adalah bagian dari proses industrialisasi yang mendorong proses transformasi dari suatu negara dengan tingkat ketergantungan tinggi terhadap sumber daya alamnya menjadi negara mandiri dari sisi ekonomi untuk kemakmuran rakyat.

Keberhasilan hilirisasi pertambangan itu sendiri sangat ditentukan oleh kebijakan dan peraturan teknis dalam implementasinya dengan mempertimbangkan penyediaan bahan baku, lahan, tenaga kerja, energi, infrastruktur, teknologi, kegiatan operasional dan pemeliharaan, sistem perizinan, dan kegiatan pembiayaan investasi.

Hilirisasi dan Pengolahan Bijih Nikel

Upaya meningkatkan nilai tambah mineral khususnya Nikel berupa pembangunan smelter. Pembangunan smelter perlu diiringi dengan pembangunan infrastruktur.

Pemerintah perlu menyiapkan dukungan pembangunan infrastruktur, terutama pembangkit energi, lahan smelter, insentif bea masuk dan perpajakan untuk jangka waktu tertentu, serta kepastian hukum terhadap jangka waktu produksi tambang sebagai jaminan bahan baku smelter untuk mendukung industri dalam merealisasikan hilirisasi menuju industrialisasi.

Pabrik pengolahan nikel di dunia dan Indonesia, umumnya menggunakan teknologi pyrometalurgy dan hydrometalurgy.

Jumlah smelter nikel yang sudah beroperasi : 13 unit. Rencana tambah 17, sehingga total 30 smelter akan beroperasi di 2024 (seharusnya 2023) Khusus bijih nikel, dilarang ekspor dalam bentuk ore/bijih (khusus untuk pemenuhan kebutuhan Dalam negeri (DMO).

Nilai Tambah Hilirisasi Nikel
  1. Peningkatan nilai tambah
  2. Pengembangan industri hilir mineral
  3. Produk Domestik Bruto (PDB). dan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)
  4. Kesempatan kerja
  5. Peningkatan kemampuan teknologi dan SDM
  6. Ekspor mineral
  7. Backward linkage dan forward linkage
  8. Mendukung tripel buttom line
  9. Menumbuhkan ekomoni nasional
  10. Ketahanan nasional
Tantangan
  • Nilai investasi pabrik pengolahan nikel sangat mahal. Untuk mengolah nikel dengan input bijih 1 juta WMT pertahun dengan teknologi RKEF, membutuhkan biaya Capex sekitar USD 100 – 150 juta.
  • Nilai investasi untuk proses hydrometallurgy tergolong mahal (>US$ 3.5 milyar) memerlukan kajian teknis dan ekonomis yang sangat terperinci.
  • Di Indonesia dan dunia, pabrik pengolahan umumnya menggunakan teknologi peleburan yang inputnya adalah nikel saprolite. Sementara pabrik pengolahan hydrometallurgy yang menggunakan umpan bijih limonite, belum banyak dikembangkan. Akibatnya, nikel limonite belum banyak termanfaatkan.
  • Pohon industry nikel dan cobalt di Indonesia, belum sepenuhnya terisi. Hampir seluruh produk hasil pengolahan nikel di Indonesia, diekspor keluar negeri sebagai bahan baku industri vital dan strategis yang bernilai ekonomis tinggi.
  • Indonesia belum mandiri dalam teknologi hilirisasi nikel. Teknologi pengolahan dan pemurnian masih dikuasai oleh asing terutama China, Jepang, dll.
  • Perizinan yang masih banyak dan panjang prosesnya, perlu penyederhanaan izin.

Disusun oleh: Kementerian Kajian, Aksi Strategis dan Advokasi BE PERMATA FT-UH Periode 2020/2021

Sumber: Permata FT Universitas Hasanuddin