NIKEL.CO.ID – Uni Eropa melayangkan tuntutan kepada pemerintah Indonesia dalam kasus sengketa nikel ke World Trade Organization (WTO). Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi pun menanggapi adanya tuntutan tersebut, dan mengaku siap untuk melanjutkan kasus itu ke persidangan internasional.
Ini merupakan lanjutan dari proses gugatan pihak Uni Eropa atas kebijakan larangan ekspor nikel oleh pemerintah Indonesia. Pada tanggal 14 Januari kemarin, pihak Uni Eropa menginformasikan bahwa kasus tersebut akan mereka lanjutkan. Nantinya, pembahasan kasus tersebut akan dilaksanakan pada tanggal 25 Januari 2021. Dengan senang hati, pemerintah Indonesia akan meladeni tuntutan tersebut.
Awal mula tuntutan pihak Uni Eropa itu dimulai saat pemerintah Indonesia mengumumkan kebijakan baru yang akan melarang ekspor nikel dalam bentuk mentah. Kebijakan itu pun telah tertuang dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 Tahun 2019, yang telah disahkan pada 28 Agustus 2019 oleh Menteri Ignasius Jonan yang menjabat saat itu. Pemberlakuan dari kebijakan itu akan dimulai pada tanggal 1 Januari 2020.
Sejumlah asosiasi penambang pun telah mendapatkan penjelasan soal kebijakan itu, dan mereka menyatakan kesepakatan atas kebijakan larangan ekspor biji mentah nikel tersebut. Selanjutnya, mereka akan mulai mengekspor barang jadi. Alasan lain para penambang sepakat adalah demi mendukung program hilirisasi yang dicanangkan pemerintah.
Sebagai tindak lanjut, para penambang pun nantinya harus menjual biji mentah nikel itu ke pabrik smelter yang ada di dalam negeri, untuk kemudian diolah menjadi barang jadi dan boleh untuk diekspor. Selanjutnya, tanggal 12 November 2019, sejumlah asosiasi penambang menyepakati harga jual biji mentah nikel yang dijual ke smelter seharga USD30 per metrik ton. Meski harga tersebut terbilang rendah dari harga yang diusulkan, namun semua pihak akhirnya menemui kesepakatan.
Tanggapan keras justru muncul dari salah satu konsumen nikel yang selama ini membeli biji mentah nikel dari penambang Indonesia. Konsumen tersebut diketahui berasal dari negara-negara Uni Eropa yang kemudian pada tanggal 22 Desember melayangkan gugatan ke Dubes Indonesia yang ada di Jenewa.
Mereka menilai, kebijakan pelarangan ekspor biji mentah nikel itu telah melanggar aturan yang ada di World Trade Organization (WTO). Sejumlah produsen baja yang ada di Eropa yang tergabung dalam asosiasi EUROFER juga mendukung adanya gugatan tersebut. Pasalnya, selama ini sebanyak 55 persen bahan baku usaha mereka, dipasok oleh bijih nikel dari Indonesia.
Presiden Jokowi yang mendapatkan kabar gugatan itu pun mengaku tidak akan gentar dengan apa yang dilakukan pihak Uni Eropa. Dia mengatakan bahwa sudah puluhan tahun negara ini hanya bergantung pada ekspor barang mentah, padahal sebenarnya Indonesia cukup mampu untuk mengolahnya dan menghasilkan produk jadi yang lebih bernilai tinggi.
Kebijakan itu pun rupanya tidak berjalan mulus, khususnya pada kondisi di dalam negeri sendiri. Sebab hingga akhir Februari 2020, belum ditemukan kesesuaian harga antar penambang dengan perusahaan smelter. Meski sebelumnya sudah disepakati harganya. Sayangnya, masalah itu terus terjadi berlarut-larut hingga akhir tahun 2020. Dan di saat yang sama, gugatan dari Uni Eropa masih terus berlanjut.
Sumber: duniatambang.co.id