
NIKEL.CO.ID, JAKARTA — Harga nikel global terus menunjukkan tren penurunan yang mengkhawatirkan. Dalam Laporan Pasar Komoditas Bank Dunia edisi April 2025, lembaga keuangan internasional itu memproyeksikan harga nikel akan turun sebesar 6% sepanjang tahun ini atau year-on-year (YOY), menyusul penurunan 2% pada kuartal pertama atau quarter-on-quarter (QOQ), yang menempatkan harganya di titik terendah sejak 2020.
Penurunan harga logam putih keperak-perakan itu mencerminkan dua faktor utama: meningkatnya pasokan global dan melambatnya permintaan, khususnya sektor baterai kendaraan listrik atau electric vehicle (EV) yang selama ini menjadi pendorong utama konsumsi nikel dunia. Dalam laporan tersebut, Bank Dunia mencatat bahwa “lonjakan pasokan global sebagian besar berasal dari produksi nikel Indonesia yang terus meningkat, didorong oleh investasi peleburan yang didukung China dan insentif pemerintah.”
Dominasi Indonesia di pasar nikel saat ini sangat signifikan. Negara ini disebut menyumbang sekitar 60% total produksi global, menjadikannya produsen utama di dunia. Namun, Bank Dunia juga memperingatkan, pertumbuhan produksi Indonesia kemungkinan akan melambat seiring diberlakukannya kuota pertambangan oleh pemerintah Indonesia, langkah yang bertujuan menstabilkan harga setelah dua tahun berturut-turut mengalami tekanan harga hingga 35%.

“Meskipun produksi meningkat, Indonesia mulai memperkenalkan kuota pertambangan. Ini menandakan upaya untuk mengelola pasar yang tengah jenuh akibat over-supply,” jelas Bank Dunia seperti dikutip dalam laporannya tersebut, Jumat (9/5/2025).
Selain Indonesia, peningkatan produksi juga datang dari kawasan lain, seperti Afrika, Asia Timur, Rusia, dan Amerika Selatan. Bersamaan dengan itu, stok nikel di gudang London Metal Exchange (LME) melonjak tajam, yang turut memberikan tekanan tambahan terhadap harga pasar.
Di sisi permintaan, sektor baterai EV yang selama ini menjadi motor pertumbuhan permintaan nikel global melambat. Permintaan dari industri baja nirkarat memang masih ada, tetapi hanya memberikan kompensasi moderat terhadap penurunan dari sektor baterai.
“Pertumbuhan permintaan nikel global diperkirakan akan melambat, mencerminkan permintaan yang melambat dari pasar baterai EV,” tulis Bank Dunia.

Namun, prospek jangka panjang masih memberikan ruang optimisme. Dengan meningkatnya kebutuhan mineral kritis dalam transisi energi bersih dan teknologi militer, harga nikel diperkirakan mulai stabil dan perlahan naik sebesar 1% pada 2026.
“Harga nikel diperkirakan akan turun pada 2025, tetapi kemudian naik tipis pada 2026 seiring mulai mengencangnya keseimbangan antara permintaan dan pasokan,” tulis laporan tersebut dalam bagian analisis prospektif.
Laporan juga menyoroti bahwa pasar logam secara umum akan menghadapi tekanan serupa, dengan harga logam dasar lainnya diprediksi turun sekitar 10% tahun ini dan 3 persen pada 2026. Ketidakpastian geopolitik, ketegangan perdagangan, serta lesunya sektor properti di China turut menjadi faktor penting yang membentuk dinamika harga komoditas global saat ini.
Sementara itu, harga logam penting lainnya, seperti kobalt, justru naik tajam pada kuartal pertama 2025, menyusul larangan ekspor sementara oleh Republik Demokratik Kongo. Akan tetapi, Bank Dunia menekankan bahwa secara keseluruhan, harga mineral kritis diperkirakan masih berada di bawah puncak harga tahun 2022.

Dalam konteks ini, strategi Indonesia dalam mengatur laju produksi dan ekspor nikel menjadi sangat krusial, bukan hanya untuk menjaga kestabilan harga nasional, tetapi juga menentukan arah pasar nikel global dalam jangka menengah.
Bagaimana kebijakan kuota tambang akan memengaruhi peta industri nikel nasional? Pemerintah dan pelaku industri diharapkan segera mengambil langkah strategis untuk menjaga daya saing sekaligus menjaga stabilitas pasar yang kian dinamis. (Shiddiq)