Pembentukan IBC menjadi pintu masuk Indonesia menjadi pemain utama baterai listrik
NIKEL.CO.ID – Indonesia memiliki sumber daya memadai untuk menjadi pemain utama baterai listrik pada level global. Apalagi, masa depan dan kompetisi industri otomotif dunia kini beralih pada kendaraan listrik.
Semua berbondong-bondong ingin memajukan industri kendaraan listrik. Indonesia pun tidak mau berada di gerbong paling belakang dalam persaingan ini, apalagi sampai ketinggalan gerbong.
“Indonesia harus menjadi pemain utama dalam industri kendaraan listrik,” kata Presiden Joko Widodo, beberapa waktu lalu.
Karena itu, Menteri BUMN Erick Thohir membentuk perusahaan baterai listrik bernama Indonesian Batery Company (IBC) pada Jumat (26/3).
IBC didirikan sebagai holding untuk mengelola ekosistem industri baterai kendaraan bermotor listrik (electric vehicle battery/EV) yang terintegrasi dari hulu hingga hilir.
Pembentukan IBC ditandai dengan penandatanganan perjanjian pemegang saham oleh holding industri pertambangan atau MIND ID, Antam, Pertamina, dan PLN dengan komposisi saham masing-masing 25 persen pada 16 Maret lalu.
Menteri Erick Thohir mengatakan pembentukan IBC merupakan strategi pemerintah, khususnya Kementerian BUMN, untuk memaksimalkan potensi sumber daya mineral di Indonesia yang melimpah dan besar.
“Kita ingin menciptakan nilai tambah ekonomi dalam industri pertambangan dan energi, terutama nikel yang menjadi bahan utama baterai EV, mengembangkan ekosistem industri kendaraan listrik, dan memberikan kontribusi terhadap tujuan pembangunan berkelanjutan,” kata Erick Thohir.
Selain itu, investasi skala besar seperti ini akan membuka banyak lapangan kerja, khususnya generasi muda.
Sejalan dengan IBC yang akan mengelola ekosistem industri baterai kendaraan bermotor listrik, perusahaan juga akan melakukan kerja sama dengan pihak ketiga yang menguasai teknologi dan pasar global.
Tujuannya, untuk membentuk entitas patungan di sepanjang rantai nilai industri EV battery mulai dari pengolahan nikel, material precursor dan katoda, hingga battery cell, pack, energy storage system (ESS), dan recycling.
Hingga saat ini telah dilakukan penjajakan kepada beberapa perusahaan global yang bergerak di industri baterai EV, seperti dari China, Jepang, Korea Selatan, Amerika Serikat, dan Eropa.
Erick menegaskan IBC terbuka untuk bekerja sama dengan siapapun. Hanya saja, harus memenuhi tiga kriteria, yakni mendatangkan investasi pada sepanjang rantai nilai, membawa teknologi, dan pasar regional atau global.
Tiga syarat itu penting agar seluruh rantai nilai di industri EV battery ini dapat dibangun secara terintegrasi melalui sinergi yang strategis.
Erick menilai Indonesia memiliki potensi yang signifikan untuk mengembangkan ekosistem industri kendaraan bermotor listrik dan baterai listrik.
Di sektor hulu, ungkap Erick, Indonesia memiliki cadangan dan produksi nikel terbesar di dunia dengan porsi cadangan sebesar 24 persen dari total cadangan nikel dunia.
Di hilir, Indonesia berpotensi memiliki pangsa pasar produksi dan penjualan kendaraan jenis bermotor roda dua dan empat yang sangat besar dengan potensi 8,8 juta unit untuk kendaraan roda dua dan 2 juta unit untuk kendaraan roda empat pada 2025.
“Dengan keunggulan rantai pasokan yang kompetitif, setidaknya 35 persen komponen EV bisa berasal dari lokal,” kata Erick penuh optimistis.
Kemitraan IBC, CATL, dan LG Chem
Erick Thohir mengatakan kemitraan IBC dengan dua pemain baterai listrik dunia, CATL dan LG Chem, akan memberikan keuntungan bagi Indonesia.
Erick menyampaikan BUMN yang tergabung dalam IBC akan terlibat dalam seluruh proses pengembangan industri baterai listrik dari hulu hingga ke hilir sesuai dengan perjanjian dengan CATL dan LG Chem.
Indonesia ingin alih teknologi ini tidak hanya pada baterai listrik untuk mobil tapi juga untuk motor.
Erick menilai potensi baterai listrik untuk motor sangat potensial bagi Indonesia yang dikenal sebagai salah satu pasar kendaraan roda terbesar di dunia.
Selain baterai listrik untuk mobil dan motor, lanjut Erick, perjanjian kerja sama juga mengatur tentang pengembangan baterai stabilisator yang penting dalam energi baru terbarukan atau kebutuhan power listrik ke depan.
Indonesia, kata Erick, dalam posisi cenderung mengalah dalam baterai listrik untuk mobil mengingat (kualitas) kemampuan pemain global. Kendati begitu, Erick menyebut IBC tetap mengunci sektor hilirisasi agar Indonesia tak sekadar menjadi pasar.
Erick menilai Indonesia tidak perlu merasa malu harus bermitra lantaran mitra yang digandeng merupakan pemain listrik nomor satu dan dua di dunia.
Oleh karenanya, Erick sejak awal mendorong Pertamina dan PLN yang merupakan raksasa terbesar energi dalam negeri untuk bergaung dengan IBC dan bergabung dengan raksasa pertambangan MIND ID.
“Kita ingin jadi global player juga dengan alih teknologi dan penguasaan pasar ke depan sehingga tidak jadi market saja,” ungkap Erick.
Masa Depan Kendaraan Listrik
Proyek pengembangan baterai kendaraan listrik terintegrasi senilai 9,8 miliar dolar AS atau setara Rp 142 triliun di Indonesia segera dimulai. Hal itu setelah ditandatanganinya nota kesepahaman (MoU) antara konsorsium BUMN dengan LG Energy Solution Ltd yang merupakan anak perusahaan konglomerasi LG Group.
Sebelumnya, pabrikan baterai litium terbesar dunia asal China, Contemporary Amperex Technology Limited (CATL), sudah menanamkam modalnya terlebih dahulu untuk membangun pabrik baterai yang terintegrasi. CATL menyiapkan modal 5,1 miliar dolar AS atau Rp 72 triliun untuk pembangunan pabrik itu.
Indonesia menjadi pusat pengembangan dan produksi baterai litium ketiga CATL setelah di Tiongkok dan Jerman. Di Indonesia, CATL berencana mengembangkan pertambangan nikel, pabrik pengolahan nikel, pabrik material baterai litium, sampai dengan pabrik mobil listrik.
Ambisi Indonesia untuk menjadi pemain utama dalam industri mobil listrik bukan tanpa dasar. Salah satu modal yang penting, kata Menteri BUMN Erick Thohir, sumber daya alam Indonesia sangat mendukung.
Indonesia menjadi salah satu negara dengan sumber daya nikel yang terbesar di dunia. Nikel merupakan bahan dasar untuk pembuatan baterai mobil listrik, lithium-ion.
Erick mengatakan baterai merupakan komponen utama dalam produksi kendaraan listrik. Sampai 85 persen dari material baterai litium itu bisa didapatkan di Indonesia.
Produksi baterai litium ini bisa diwujudkan pada akhir 2023 atau 2024. Hilirisasi sektor mineral pun menjadi pentig sehingga nikel tidak diekspor mentah.
Indonesia memang dikenal raja nikel dunia. Predikat itu tersandang sejak 2018, setelah merebutnya dari tangan Filipina.
Pada 2019 ekspor nikel Indonesia mencapai 1,7 miliar dolar AS atau 37,2 persen dari nilai ekspor dunia. Filipina terperosok ke posisi ketiga dengan pangsa pasar 13 persen, disalip Zimbabwe dengan penguasaan pasar 16 persen.
Namun, sampai saat ini, Indonesia belum memanfaatkan nikel ore itu untuk produksi baterai lithium-ion. Lima pemain besar produsen baterai litium ini adalah Australia sebesar 52,9 persen dari produksi global, Cile (21,5 persen), China (9,7 persen), Argentina (8,3 persen), dan Zimbabwe (2,1 persen).
Potensi Hilirisasi Nikel Capai 34 Miliar Dolar AS
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan memperkirakan potensi hilirisasi nikel sampai dengan 2024 dapat mencapai 34 miliar dolar AS. Potensi tersebut dapat dicapai melalui pengolahan nikel di dalam negeri menjadi baterai lithium dan daur ulang lithium.
Saat ini, Luhut menyebutkan, Indonesia baru mengekspor berupa bahan baku mentah ke Cina. Sektiar 98 persen dari total produksi nikel dalam negeri itu langsung dikirim ke luar negeri tanpa diolah terlebih dahulu.
Padahal, apabila diolah sendiri, ekspor tersebut akan mendorong penerimaan negara yang lebih besar. Sebab, akan ada nilai tambah yang bisa didapatkan ke industri manufaktur dan tenaga kerja Indonesia.
Luhut mencatat besaran nilai ekspor nikel saat ini sudah di angka 10 miliar dolar AS. Artinya, masih ada 24 miliar dolar AS yang dapat dioptimalkan. Tidak menutup kemungkinan nilai tersebut dapat meningkat apabila bahan baku nikel diolah di dalam negeri.
Luhut menambahkan upaya hilirisasi nikel dapat menjadi daya tarik tambahan bagi para investor yang berminat ke Indonesia. Khususnya untuk melakukan investasi langsung atau foreign direct investment (FDI). Dengan begitu, isu defisit neraca dagang yang selalu jadi permasalahan di Indonesia dapat membaik.
Tidak hanya nikel, pemerintah juga berupaya melakukan hilirisasi timah dan bauksit setelah 2024. Upaya ini sejalan dengan program prioritas pemerintah untuk mengembangkan industri manufaktur mobil listrik.
Ia mengakui melakukan hilirisasi memang tidaklah mudah. Indonesia harus keluar dari zona nyaman yang selama ini terlena mengekspor bahan mentah saja. Dampaknya, nilai tambah yang didapatkan di Indonesia cenderung minim.
Untuk memaksimalkan hilirisasi, pemerintah berupaya mencari FDI. Sampai saat ini, pemerintah sudah melakukan pendekatan terhadap sejumlah investor untuk memaksimalkan hilirisasi bauksit di dalam negeri. Di antaranya dengan Cina dan Jepang.
Sumber: Republika.co.id