Beranda Nikel Dirjen Minerba: Penyebab Oversupply Nikel Berasal dari Produksi Smelter

Dirjen Minerba: Penyebab Oversupply Nikel Berasal dari Produksi Smelter

848
0
Tri Winarno ketika dilantik menjadi Dirjen Minerba oleh Menteri ESDM Bahlil Lahadalia, Jumat (20/9/2024). Dok. MNI

NIKEL.CO.ID, JAKARTA – Direktur Jenderal (Dirjen) Mineral dan Batu Bara (Minerba), Tri Winarno mengungkapkan bahwa penyebab oversupply nikel yang membuat harga nikel turun adalah dari pabrik produksi pengolahan nikel atau smelter dalam negeri.

Tri menjelaskan bahwa yang pertama setelah Indonesia membuat kebijakan larangan ekspor bijih nikel pada 1 Januari 2020, bijih nikel sudah tidak bisa lagi di ekspor hingga sekarang. Sehingga penyebab oversupply bukan dari produksi tambang nikel perusahaan izin usaha pertambangan (IUP).

Dalam mengatasi oversupply dan penurunan harga maka bukan dengan cara mengurangi kuota bijih nikel dalam rencana kerja dan anggaran biaya (RKAB) melainkan dengan mengendalikan kebutuhan bijih nikel untuk konsumsi smelter.

“Yang pertama, sekarang kita dilarang untuk melakukan ekspor bijih nikel. Terus berarti sekarang ini, kalau misalnya ada over produksi berarti dari smelternya. Jadi, kalau misalnya dari smelternya, kalau misalnya kita mengendalikan juga, nanti kita hitung berapa sebetulnya kebutuhan dunia terhadap industri nikel itu,” ungkap Tri kepada wartawan yang diikuti nikel.co.id, di Kantor Sekretariat Kementerian ESDM, Jakarta, Senin (3/2/2025).

Menurutnya, berdasarkan penghitungan itu, Kementerian ESDM melalui Direktorat Jenderal (Ditjen) Minerba akan melakukan evaluasi terhadap nikel yang ada.

“Kemudian berapa yang pas. Supaya apa yang tadi disampaikan oleh Pak Menteri ESDM, jangan sampai kita harga produksinya tinggi tetapi harga nikelnya rendah. Kita mau berencana akan melakukan evaluasi terhadap itu,” ujarnya.

Dia menambahkan bahwa evaluasi yang dilakukan nantinya di seputar sektor kepatuhan, reklamasi tambang, keselamatan dan kesehatan kerja (K3), penerimaan pajak bukan negara (PNBP).

“Kepatuhannya seperti apa terhadap reklamasi tambang, kemudian terhadap kecelakaan kerjanya seperti apa, terus kepatuhan teknik dan PNBP lainnya seperti apa, kira-kira gitu,” tambahnya.

Tri juga menegaskan, bahwa antara target produksi dengan RKAB itu harus dibedakan karena biasanya sering terjadi dis put, seperti ketika RKAB sudah diajukan ternyata lahan tambangnya tidak bisa digunakan. Sehingga ada RKAB belum tentu berproduksi dan memang kuota RKAB angkanya lebih tinggi.

“Jadi harus dibedakan antara RKAB dengan target produksi,” tegasnya.

Sedangkan untuk target waktu evaluasi, dia mengatakan bahwa masih dalam proses hingga sekarang. (Shiddiq)