NIKEL.CO.ID, JAKARTA — Direktur Jenderal (Dirjen) Mineral dan Batu Bara (Minerba) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM), Tri Winarno, mengatakan, kebutuhan bijih nikel Indonesia pada 2025 diperkirakan 220 juta hingga 230 juta ton.
“Domestiknya sekitar 220-230-an juta tonlah. Nanti kami cek lagi. Tapi angkanya sekitar-sekitar segitu,” ujar Tri kepada wartawan di Kantor KESDM, Jakarta, Senin (3/2/2025).
Ia menambahkan bahwa angka tersebut masih bisa berubah seiring dengan perkembangan kebutuhan dan permintaan. Tahun lalu estimasi produksi bijih nikel Indonesia diperkirakan mencapai sekitar 220 juta ton. Jadi, untuk 2025, produksi bijih nikel tidak jauh berbeda dengan tahun lalu.
Sementara itu, Sekretaris Umum (Sekum) Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Meidy Katrin Lengkey mengatakan bahwa adanya penurunan signifikan dalam persetujuan RKAB dari pemerintah untuk tahun kedepannya. Untuk tahun 2024 saja, kebutuhan bijih nikel diperkirakan mencapai sekitar 260 – 280 juta ton namun persetujuan RKAB yang diberikan hanya sekitar 271 juta ton.
“Sedangkan untuk tahun 2025, persetujuan RKAB yang sudah disetujui pemerintah hanya sekitar 246 juta ton, dan pada tahun 2026 hanya sekitar 198 juta ton,” kata Meidy dalam tayangan Market Review IDX Channel pada 27 Desember 2024 lalu.
Dia berharap agar pemerintah dapat mempertimbangkan kembali wacana pembatasan kuota bijih nikel yang dapat mengganggu kelancaran pasokan untuk industri smelter.
“Kebutuhan bijih nikel terus meningkat dan kami berharap ada kebijakan yang dapat mendukung ketersediaan bijih nikel dengan kadar tinggi dan rendah untuk memastikan bahwa industri smelter di Indonesia tetap dapat berkembang dan berproduksi secara optimal,” harapnya dengan sungguh-sungguh.
Selain itu, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia menjelaskan, pihaknya sedang menghitung berapa banyak pabrik nikel yang ada di Indonesia. Hal ini penting untuk memetakan produksi nikel di dalam negeri untuk industri smelter.
Secara terang-terangan, perusahaan saat ini tidak boleh memonopoli baik suplai dan demand nikel. Misalnya, untuk perusahaan yang sudah memiliki industri (smelter) dan juga memiliki tambang.
“Kalau pabrik smelter tidak mau harga murah dia tidak ambil. Jadi saya ingin suplai-demand itu terjaga tapi tidak di monopoli,” ungkap Bahlil saat Konfrensi Pers Kinerja Sektor ESDM di Kantor ESDM, Senin (3/2/2025).
Kalau tidak pabrik smelter tidak melakukan monopoli, dia memastikan tambang, industri, masyarakat bisa berjalan, dan negara bisa mendapatkan royalti dengan adil.
Sambil memberikan contoh, Bahlil, menuturkan, adanya suplai nikel yang tinggi sementara demandnya rendah maka harga nikel akan anjlok. Sehingga pendapatan negara tidak maksimal.
“Nilai komoditas nikel di pasar global terjungkal,” pungkasnya. (Shiddiq)