Beranda Asosiasi Pertambangan APNI Soroti Tantangan Regulasi Baru dalam Sektor Pertambangan Nikel

APNI Soroti Tantangan Regulasi Baru dalam Sektor Pertambangan Nikel

666
0
Sekum APNI Meidy Katrin Lengkey saat memaparkan materi acara Strategic Discussion, The westin, Jakarta, Selasa (4/2/2025). Foto by: MNI

NIKEL.CO.ID, JAKARTA – Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) memberikan masukan atas sejumlah ketentuan dalam regulasi baru, terkait pertambangan, yang dinilai dapat menimbulkan dampak serius, baik bagi industri maupun lingkungan.

Sekretaris Umum APNI, Meidy Katrin Lengkey, menyampaikan kekhawatiran terkait penerapan kebijakan yang belum disertai aturan turunan yang jelas. Menurut Meidy, salah satu isu utama yang dihadapi adalah penyalahgunaan izin usaha pertambangan (IUP), khususnya yang diberikan kepada koperasi atau organisasi kemasyarakatan (Ormas).

“Banyak koperasi yang diberikan IUP malah menjualnya ke pihak ketiga dalam skema joint operation. Ini membuat IUP menjadi komoditas jual-beli, bukan untuk operasional tambang yang serius. Akibatnya, kita melihat masalah lingkungan dan operasional yang tidak optimal,” ujarnya dalam acara Strategic Discussion: Perubahan UU Minerba, Urgensi atau Ambisi?, di The Westin Jakarta, Selasa (4/2/2024)

Tak hanya itu, ia juga menyoroti tantangan modal dan infrastruktur yang dihadapi oleh banyak koperasi, termasuk organisasi besar, seperti NU dan Muhammadiyah, yang kesulitan menjalankan operasional tambang secara mandiri.

“Contoh kasus hauling dengan jarak 70 km, membutuhkan modal yang sangat besar. Tanpa kesiapan finansial, koperasi atau ormas akan kesulitan, dan ujung-ujungnya pemerintah yang akan menanggung beban pascatambang,” tambahnya.

Di sisi lain, kebijakan baru yang mewajibkan penggunaan bahan bakar B40 dan penerapan pajak pertambahan nilai (PPN) 12% untuk alat berat juga berpotensi meningkatkan biaya operasional tambang.

“Dengan harga komoditas yang sedang turun, proyeksi harga nikel bisa jatuh hingga US$15.000 per ton, sementara biaya produksi naik. Ini bisa mengancam profitabilitas, bahkan menyebabkan kerugian,” jelasnya.

Lebih lanjut, dia menjelaskan, dampak kebijakan terhadap pasokan smelter. Smelter yang kini membatasi penerimaan bahan baku tambang, dari yang awalnya H+12 menjadi H+2 atau H+3, membuat para penambang tertekan oleh penumpukan stok dan ketidakpastian finansial.

“Smelter sudah kelebihan pasokan, sementara tambang tetap dipaksa untuk berproduksi. Ini menciptakan ketidakseimbangan yang bisa merugikan industri secara keseluruhan,” tambahnya.

Sebagai solusi, APNI mengusulkan sejumlah langkah untuk memperketat aturan dan memastikan keberlanjutan industri pertambangan nikel. Standardisasi yang ketat untuk IUP baru menjadi salah satu poin utama. Misalnya, IUP harus disertai dengan bukti modal minimum, kapasitas peralatan, tenaga kerja bersertifikasi, serta program pasca tambang yang jelas.

“IUP tidak boleh diberikan tanpa adanya rencana reklamasi dan jaminan keberlanjutan. Kontrak dengan smelter juga harus ada sebelum produksi dimulai untuk mencegah kelebihan pasokan,” ujarnya.

Ia menambahkan, penting untuk mengatur jual-beli IUP dengan ketat.

“Jual-beli IUP dalam bentuk joint operation tanpa izin pemerintah harus dilarang. Semua transaksi IUP harus diaudit secara finansial dan operasional,” tegasnya.

Meskipun RUU terkait pertambangan ini bisa berjalan dengan baik, hal tersebut hanya bisa terwujud jika ada aturan turunan yang memastikan hanya entitas yang benar-benar siap yang diperbolehkan untuk mengelola tambang.

Jika tidak, risikonya bisa merugikan ekosistem pertambangan, menambah ketidakseimbangan pasar, dan menyebabkan kerusakan lingkungan yang lebih besar di masa depan.

“Pendekatan terbaik adalah menerima kebijakan ini dengan revisi aturan turunan yang memastikan standar tinggi dan mencegah IUP menjadi komoditas jual-beli,” pungkasnya. (Shiddiq)