
NIKEL.CO.ID, JAKARTA — Ada sejumlah tantangan yang harus dihadapi Indonesia untuk mewujudkan komoditas nikel masuk dalam pedagangan di bursa. Salah satunya adalah penetapan harga nikel yang harus transparan, dapat dipantau, dan menggambarkan kondisi fisik komoditas tersebut
Hal itu diungkapkan tenaga ahli Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti), Kementerian Perdagangan, Veriyadi, kepada Nikel.co.id, Jumat (31/1/2025).
“Indonesia adalah eksportir terbesar nikel di dunia, dengan kontribusi mencapai 55% dari produksi nikel primer global pada 2023. Selain itu, produk nikel Indonesia beragam, mulai dari feronikel, NPI, hingga nickel matte, yang masing-masing memerlukan harga referensinya. Nikel juga dikenal dengan fluktuasi harga yang tajam, bahkan sejak 2004 harga nikel telah mengalami empat kali bubble (kenaikan harga yang begitu cepat, red.),” ujar Veriyadi.
Proses penetapan harga nikel melibatkan berbagai pihak, seperti pembeli, penjual, trader, dan lembaga keuangan. Tantangan lainnya, potensi harga premium yang dapat mempengaruhi perdagangan, serta dampak dari isu geopolitik yang sering memengaruhi pasar komoditas yang terkonsentrasi secara geografis seperti nikel.
“Kebijakan politik, baik di Indonesia maupun tingkat global, juga menjadi faktor penting. Selain itu, cadangan nikel yang terbatas dan masuk dalam kategori ore shortage, memerlukan kajian dan analisis yang mendalam untuk memastikan nikel dapat memberikan manfaat dalam perdagangan berjangka ke depannya,” jelasnya.
Nikel juga dikenal sebagai komoditas yang geographically concentrated, dengan penyebaran utamanya di kawasan yang terletak antara garis lintang 22 derajat utara dan 22 derajat selatan. Hal ini membuat nikel rentan terhadap isu-isu terkait pasokan.
Sebagai negara penghasil nikel terbesar di dunia, Indonesia memegang peranan penting dalam mengontrol harga nikel global. Pelarangan ekspor nikel mentah pada 2014 dan 2021 menjadi bukti nyata bahwa Indonesia berperan besar dalam menjaga kestabilan harga komoditas ini.
Dengan fokus pada penguatan industri perdagangan berjangka komoditas (PBK) dan upaya untuk menjadikan nikel sebagai salah satu komoditas unggulan dalam perdagangan berjangka, Bappebti terus berkomitmen untuk memastikan bahwa sektor ini dapat tumbuh dan berkembang secara berkelanjutan menghadapi tantangan yang ada.
Selain itu, ia menerangkan, Indonesia merupakan salah satu negara dari 8 negara (Filipina, Rusia, Kaledonia Baru, Australia, Kanada, Uni Emirat Arab, dan Denmark) sebagai net exporter of nickel; sedangkan China merupakan negara dengan impor komoditas nikel terbesar, seperti bijih, produk tengahan (intermediate products), first-use product, dan end-use product. Di samping itu, Tiongkok merupakan eksportir nikel terbesar, setelah Indonesia, berupa first-use dan end-use products.
Dari sisi nilai jual per satuan dalam perdagangan nikel, China menunjukkan nilai surplus per kg nikel untuk ekspor, dengan nilai jual produk nikelnya sekitar US$240 per kg, sedangkan harga impor per kg adalah US$40.
Saat ini Indonesia memiliki ketimpangan harga eskpor dan impor per kg. Nilai ekspor Indonesia adalah US$48 per kg, sedangkan nilai impor per kg adalah US$100. Hal itu karena Indonesia mengimpor produk first-use product dan end-use product dan mengekspor intermediate dan first-use product. Sebaliknya, China mengimpor bijih dan intermediate serta first use product dan mengekspor first-use product dan end-use product yang memiliki nilai lebih tinggi.
Dari kajian tenaga ahli, maka disimpulkan bahwa nikel layak masuk bursa berjangka, namun tantangan selanjutnya bagaimana supaya bursa ini berjalan berkesinambungan. Leuthold (1989) menyatakan ada beberapa poin yang akan menjadikan nikel bisa berkelanjutan diperdagangkan di bursa berjangka apabila cadangan yang memadai, konsumsi dan produksi, ketersediaan informasi produksi dan stok, informasi berkaitan dengan gangguan pasokan serta tidak ada intervensi pemerintah dalam penetapan harga komoditas. (Lili Handayani)