Beranda Asosiasi Pertambangan Kontroversi RUU Minerba, APNI Tekankan Pentingnya Regulasi yang Ketat

Kontroversi RUU Minerba, APNI Tekankan Pentingnya Regulasi yang Ketat

652
0
Meidy Katrin Lengkey. Dok: MNI/Chiva.

NIKEL.CO.ID, JAKARTA – Revisi Undang-Undang Mineral dan Batu Bara (RUU Minerba) masih menuai kontroversi di kalangan pelaku industri tambang. Beberapa kritikan dan masukan disampaikan masyarakat, termasuk dari Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI).

Sekretaris Umum (Sekum) APNI, Meidy Katrin Lengkey, menyampaikan pandangannya terkait isu ini dalam wawancara dengan nikel.co.id seusai Rapat Laporan Kinerja APNI 2024 yang berlangsung di Kantor DPP APNI, Kamis (30/1/2025) lalu.

Meidy menegaskan bahwa APNI sejak awal telah menyampaikan keberatan terhadap beberapa poin dalam RUU Minerba saat mengikuti Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi XII DPR RI. Salah satu yang menjadi perhatian utama adalah konsep “prioritas” dalam pemberian izin usaha pertambangan (IUP).

“Takutnya, kami keberatan itu dengan bahasa ‘prioritas’. Mau diberikan kepada siapa saja sesuai UU kita, itu boleh berlaku ke semua hak warga negara. Tapi, badan usaha atau organisasi keagamaan, perguruan tinggi, koperasi, apakah sudah mumpuni? Punya kapabilitas dan kapasitas, baik secara finansial, tenaga ahli, proses produksi, serta global terhadap market harga? Itu yang harus diperhatikan,” ujarnya.

Perempuan kelahiran 21 April ini menyoroti risiko yang dapat muncul jika IUP diberikan tanpa memperhitungkan kapabilitas pemegang izin.

“Jangan sampai IUP ini diberikan hanya untuk jualan, bagi-bagi ke orang lain, terus terjadi kerusakan lingkungan. Kalau sudah terjadi kerusakan lingkungan, pemerintah juga yang harus bersih-bersih lagi. Jadi, ya harus proper-lah,” lanjutnya.

Jika RUU Minerba tetap harus disahkan, ia menekankan, regulasi turunannya, seperti peraturan pemerintah (PP), keputusan presiden (Kepres), atau peraturan presiden (Perpres), harus mengatur secara ketat mengenai spesifikasi dan kualifikasi badan usaha yang berhak mendapatkan IUP.

Ia juga menyarankan adanya mekanisme lelang terbuka bagi badan usaha, Ormas, perguruan tinggi, atau usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang memiliki kapabilitas sesuai standar tertentu.

“Minimal finansialnya berapa? Minimal alat beratnya berapa? Minimal tenaga ahlinya berapa? Minimal program ESG-nya apa? Itu semua harus diatur dalam aturan turunan,” katanya.

Perempuan kelahiran Manado ini juga menekankan pentingnya tanggung jawab pascatambang, termasuk program revegetasi, rehabilitasi, dan penutupan area tambang agar tidak merusak lingkungan. Konsep environment, social, and governance (ESG), sambungnya, harus menjadi bagian integral dalam kebijakan pertambangan.

“Konsep program ESG-nya seperti apa? Itu yang harus dibuat dalam aturan turunan,” tegasnya.

Sebagai solusi, ia mengusulkan agar setiap kategori luas lahan tambang memiliki persyaratan spesifik.

“Misalnya, IUP dengan kapasitas 100 hektare sampai 500 hektare, minimal finansialnya harus sekian. Kalau luasnya 500 ribu sampai 2 ribu hektare, maka persyaratannya lebih tinggi lagi. Itu harus dibuat spesifikasi, dan biarkan lelang terbuka, siapapun berhak. Jadi, hilangkan kata-kata ‘prioritas,” tutupnya. (Aninda)