NIKEL.CO.ID, JAKARTA – Rencana pemerintah, melalui Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara (Minerba) Kementerian ESDM, mengurangi kuota nikel dalam Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) perusahaan-perusahaan tambang dari 250 juta ton menjadi 150 juta ton menjadi dilema bagi industri pengolahan nikel atau smelter.
Kebutuhan industri smelter di Indonesia terus berkembang dari tahun ke tahun ditambah kebutuhan pasokan bijih nikel yang juga terus meningkat dengan jumlah yang cukup besar. Kebutuhan bijih nikel untuk 49 smelter pirometalurgi dengan teknologi RKEF saat ini sekitar 232 juta ton. Belum lagi 36 smelter yang masih dalam kontruksi nantinya membutuhkan pasokan bijih nikel sebanyak 158 juta ton.
Sekretaris Umum (Sekum) Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Meidy Katrin Lengkey, menegaskan, smelter RKEF membutuhkan bijih nikel kadar tinggi (saprolit) untuk menghasilkan nickel pig iron (NPI), feronikel, dan nikel matte, sehingga untuk memenuhi kebutuhan tersebut maka dibutuhkan lebih banyak pasokan saprolit.
Tetapi, smelter hidrometalurgi yang menggunakan teknologi HPAL membutuhkan nikel kadar rendah (limonit) jauh lebih sedikit dibandingkan smelter RKEF. Untuk 6 smelter HPAL yang sudah beroperasi, mereka hanya membutuhkan sekitar 62 juta ton bijih limonit.
“Tahun depan akan ada 4 smelter baru yang mulai beroperasi, yang diperkirakan membutuhkan tambahan 56 juta ton bijih nikel,” ujar Meidy dalam tayangan Market Review IDX Channel, 27 Desember 2024 lalu.
Ia menjelaskan, meski kebutuhan limonit relatif lebih kecil, total kebutuhan bijih nikel untuk seluruh smelter yang ada saat ini, baik yang sudah beroperasi maupun yang dalam tahap kontruksi, diperkirakan akan mencapai sekitar 400-500 juta ton per tahun.
“Itu berarti total kebutuhan bijih nikel akan terus meningkat,” tegasnya.
Namun, di sisi lain, katanya mengungkapkan, ada penurunan signifikan dalam persetujuan RKAB oleh pemerintah. Pada 2024 saja, kebutuhan bijih nikel diperkirakan 260–280 juta ton, tetapi RKAB yang disetujui hanya sekitar 271 juta ton; sedangkan untuk 2025, persetujuan RKAB hanya sekitar 246 juta ton, dan pada 2026 hanya sekitar 198 juta ton.
Ia berharap, pemerintah mempertimbangkan kembali wacana pembatasan kuota bijih nikel karena kebijakan tersebut dapat mengganggu kelancaran pasokan untuk smelter.
“Kebutuhan bijih nikel terus meningkat. Kami berharap ada kebijakan yang dapat mendukung ketersediaan bijih nikel dengan kadar tinggi dan rendah untuk memastikan bahwa industri smelter di Indonesia tetap dapat berkembang dan berproduksi secara optimal,” harapnya dengan sungguh-sungguh.
Pada waktu yang sama, Ketua Badan Kejuruan Pertambangan Persatuan Insinyur Indonesia (PII), Rizal Kasli, mengingatkan, pembatasan kuota bijih nikel pada 2025 akan memberikan dampak signifikan terhadap kebutuhan industri.
“Terutama smelter yang mengandalkan nikel untuk proses produksi. Untuk saat ini smelter yang telah beroperasi membutuhkan sekitar 135 – 150 juta ton bijih nikel per tahun,” kata Rizal.
Ketua Komite Tambang dan Minerba Bidang ESDM Dewan Pengurus Nasional Asosiasi Pengusaha Indonesia (DPN Apindo), Hendra Sinadia, nimbrung mengenai isu pengurangan kuota bijih nikel yang sudah berkembang sejak dua bulan terakhir ini. Menurutnya, isu ini berakar dari masalah oversupply yang menyebabkan harga nikel tertekan. Ia menegaskan bahwa keputusan final mengenai pengurangan kuota ini belum diambil.
“Saat ini kami belum mendengar adanya keinginan pemerintah untuk mengurangi produksi secara signifikan. Yang dimaksud adalah pengurangan atau penghentian sementara investasi untuk smelter nikel dengan teknologi RKEF karena cadangan nikel berkualitas tinggi yang kita miliki semakin terbatas,” tegas Hendra kepada nikel.co.id beberapa waktu lalu.
Selain itu, ia mengungkapkan bahwa hilirisasi nikel berpotensi menjadi tulang punggung pengembangan ekonomi nasional, khususnya dalam mendukung ekosistem kendaraan listrik atau electric vehicle (EV) global yang semakin berkembang pesat. Hilirisasi nikel dalam pengembangan eksositem EV global, menurut dia, akan menjadi penting sebagai dasar pertumbuhan ekonomi nasional Indonesia kedepannya.
“Ekosistem EV global ini menjadi sangat penting untuk kita bangun guna mencapai target pertumbuhan ekonomi. Jadi, hilirisasi nikel ini perlu didukung,” pungkasnya. (Shiddiq)