NIKEL.CO.ID, JAKARTA – Wacana pemerintah untuk membatasi kuota bijih nikel pada 2025 menjadi isu yang cukup mengkhawatirkan bagi pelaku industri smelter. Meidy Katrin Lengkey, Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengusaha Nikel Indonesia (APNI), menyampaikan pandangannya mengenai dampak dari pembatasan tersebut terhadap kebutuhan bijih nikel, baik yang berkadar tinggi maupun rendah.
Meidy menjelaskan bahwa industri smelter di Indonesia saat ini membutuhkan pasokan bijih nikel dalam jumlah yang sangat besar. Hingga 2024, terdapat 49 smelter pirometalurgi yang sudah beroperasi, dengan total kebutuhan sekitar 232 juta ton bijih nikel.
“Selain itu, ada 36 smelter lainnya yang masih dalam tahap konstruksi, yang memerlukan tambahan 158 juta ton bijih nikel untuk pirometalurgi,” ungkapnya dalam acara Market Review yang ditayangkan oleh IDX Channel, Jumat (27/12/2024).
Sebagian besar smelter yang telah beroperasi, lanjutnya, mengandalkan bijih nikel dengan kadar tinggi atau saprolit, yang diperlukan untuk proses pirometalurgi menghasilkan nikel pig iron (NPI), ferro nikel, dan nikel matte.
Untuk kebutuhan ini, kata Meidy, industri smelter pirometalurgi membutuhkan lebih banyak pasokan bijih nikel kadar tinggi. Sementara itu, untuk smelter yang menggunakan teknologi hidrometalurgi, kebutuhan bijih nikel yang dibutuhkan lebih sedikit dan lebih fokus pada nikel kadar rendah.
“Untuk 6 smelter hidrometalurgi yang sudah beroperasi, mereka hanya membutuhkan sekitar 62 juta ton bijih nikel kadar rendah. Namun, tahun depan akan ada 4 smelter baru yang mulai beroperasi, yang diperkirakan membutuhkan tambahan 56 juta ton bijih nikel,” jelasnya.
Meidy juga menekankan bahwa, meskipun kebutuhan bijih nikel kadar rendah relatif lebih kecil, namun kebutuhan total bijih nikel untuk seluruh smelter yang ada, baik yang sudah beroperasi maupun yang dalam tahap konstruksi, diperkirakan akan mencapai sekitar 400 hingga 500 juta ton per tahun.
“Artinya, total kebutuhan bijih nikel akan terus meningkat,” tambahnya.
Di sisi lain, dia mengungkapkan adanya penurunan signifikan dalam persetujuan Rencana Kerja dan Anggaran Belanja (RKAB) dari pemerintah untuk tahun-tahun mendatang.
“Untuk tahun 2024, kebutuhan bijih nikel diperkirakan mencapai sekitar 260 hingga 280 juta ton, namun persetujuan RKAB yang diberikan hanya sekitar 271 juta ton. Sedangkan untuk tahun 2025, persetujuan RKAB yang sudah disetujui pemerintah hanya sekitar 246 juta ton, dan pada tahun 2026 hanya sekitar 198 juta ton,” jelas Meidy.
Menurutnya, penurunan persetujuan RKAB ini terjadi meskipun kebutuhan bijih nikel terus meningkat. “Ini menjadi kekhawatiran besar bagi kami di industri smelter. Kita bingung siapa yang mengajukan wacana pembatasan hingga 150 juta ton pada 2025, sementara kebutuhan kita terus naik,” tegasnya.
Ia berharap agar pemerintah dapat mempertimbangkan kembali wacana pembatasan kuota bijih nikel yang dapat mengganggu kelancaran pasokan untuk industri smelter.
“Kebutuhan bijih nikel terus meningkat, dan kami berharap ada kebijakan yang dapat mendukung ketersediaan bijih nikel dengan kadar tinggi dan rendah untuk memastikan bahwa industri smelter di Indonesia tetap dapat berkembang dan berproduksi secara optimal,” harap Meidy.
Sementara itu, Ketua Persatuan Insinyur Indonesia (PII), Rizal Kasli mengungkapkan bahwa rencana pembatasan kuota bijih nikel di 2025 akan memberikan dampak signifikan terhadap kebutuhan industri, terutama smelter yang mengandalkan nikel untuk proses produksi. Menurutnya, smelter yang telah beroperasi membutuhkan sekitar 135 hingga 150 juta ton bijih nikel per tahun.
“Namun, kita harus memperhatikan bahwa ada smelter yang masih dalam tahap konstruksi dan memerlukan stabilisator, yang diperkirakan membutuhkan sekitar 180 hingga 190 juta ton bijih nikel per tahun,” jelas Rizal dalam acara yang sama.
Ia juga menyoroti fakta bahwa industri smelter saat ini menghadapi tantangan terkait ketersediaan cadangan nikel dengan kadar tinggi (saprolit), yang sangat diperlukan oleh teknologi pyro metalurgi untuk menghasilkan produk seperti nikel pig iron (NPI) dan ferro nikel.
“Jika kita melihat kebutuhan yang lebih besar di masa depan, kami membutuhkan lebih dari 4 juta ton per tahun bijih nikel dengan kadar tinggi,” tambahnya.
Wacana pengurangan kuota bijih nikel yang dibahas pemerintah di 2025 menjadi perhatian besar bagi industri smelter. Meidy Katrin Lengkey mengingatkan bahwa meskipun kebutuhan bijih nikel semakin tinggi, persetujuan RKAB yang menurun akan menyulitkan pelaku industri untuk memenuhi permintaan pasar.
Oleh karena itu, kebijakan yang lebih mendukung ketersediaan bijih nikel sangat diperlukan agar sektor smelter Indonesia tetap bisa berkembang dan berkontribusi pada perekonomian nasional. (Shiddiq)