Beranda Asosiasi Pertambangan Penerapan ESG, APNI Tekankan Pentingnya Kolaborasi Pemerintah, Industri, dan Pasar Global

Penerapan ESG, APNI Tekankan Pentingnya Kolaborasi Pemerintah, Industri, dan Pasar Global

1841
0
Sekum APNI Meidy Katrin Lengkey, FGD Minerba dan ITB, Jumat (13/12/2024).

NIKEL.CO.ID, JAKARTA — Produksi mixed hydroxide precipitate (MHP) dan nikel matte Indonesia mengalami peningkatan yang signifikan. Pada 2023, Indonesia memperoduksi MHP sebanyak 189.950 metal ton, lalu naik menjadi 258.000 metal ton pada 2024. Begitu pula produksi nikel matte diprediksi naik dari 321.500 metal ton pada 2023 menjadi lebih tinggi pada 2024.

Hal itu diungkapkan Sekretaris Umum Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Meidy Katrin Lengkey, pada diskusi kelompok terfokus atau focus Group discussion (FGD) yang digelar Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara (Minerba) bekerja sama dengan Institut Teknologi Bandung (ITB), secara daring, Jumat (13/12/2024).

APNI diundang pada FGD tersebut untuk memberikan pemaparan penting terkait perkembangan industri nikel di Indonesia dan membahas sejumlah isu kritis yang berhubungan dengan produksi nikel, keberlanjutan (sustainability), dan penerapan standar environment, social, and governance (ESG) di Indonesia, yang semakin menjadi perhatian global.

Data produksi MHP dan nikel matte itu menunjukkan bahwa Indonesia tetap memegang posisi penting dalam produksi nikel global, meski ada tantangan terkait keseimbangan antara permintaan dan penawaran, terutama produk nickel pig iron (NPI) yang terus meningkat.

Meidy mengatakan, isu oversupply sempat terjadi pada 2023. Lalu, diperkirakan ada keterlambatan produksi pada 2024 akibat masalah Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB).

“Larangan ekspor bijih nikel Indonesia pada 2020, menyebabkan China mengalihkan sebagian impornya dari Filipina, yang harga bijih nikelnya lebih murah daripada bijih nikel Indonesia. Bahkan, Indonesia pun mengimpor bijih nikel dari Filipina untuk memenuhi kebutuhan domestik,” tambahnya.

Ia menuturkan, Filipina menjadi pemasok utama bagi Indonesia, dengan kadar bijih nikel 1,4%. Faktornya tidak hanya terkait kandungan nikelnya, tetapi juga rasio silika magnesium yang lebih rendah dibandingkan dengan bijih nikel lokal, yang terkadang memiliki kandungan silika magnesium tinggi.

“Kebutuhan nikel untuk konsumsi domestik Indonesia pada 2024 diperkirakan mencapai 260 juta ton, meningkat signifikan dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang hanya sekitar 193 juta ton pada 2023,” ujarnya.

Sebagai informasi tambahan, Indonesia memiliki 49 smelter yang sudah beroperasi dengan kapasitas pengolahan nikel yang cukup besar. Namun, kebutuhan energi untuk mendukung smelter ini menjadi perhatian serius.

Total kebutuhan energi untuk smelter berbasis pirometalurgi dan hidrometalurgi, ia memperkirakan mencapai ratusan megawatt, dengan banyak fasilitas pengolahan yang masih dalam tahap konstruksi. Sebagai bagian dari pembahasan mengenai keberlanjutan industri nikel, dia menggarisbawahi pentingnya penerapan standar ESG yang semakin menjadi tuntutan global.

“Saat ini Indonesia menghadapi tantangan besar dalam memenuhi standar ESG yang ditetapkan oleh pasar internasional, terutama Eropa. Meski banyak perusahaan sudah melakukan audit, beberapa perusahaan, seperti Harita Nickel atau PT Trimegah Bangun Persada Tbk., dan PT Industrial Weda Bay Park (IWIP), belum mendapatkan sertifikat ESG, walau proses audit telah berlangsung sejak 2020,” paparnya.

Namun, ia mencatat, standar ESG yang diterapkan di Indonesia harus disesuaikan dengan kondisi lokal karena banyak perbedaan dalam cara pertambangan dan pengolahan nikel di Indonesia dibandingkan dengan negara-negara Barat.

“Standar ESG yang berasal dari Eropa, seperti yang ditetapkan European Union Battery Passport, perlu disesuaikan dengan kondisi operasional di Indonesia. Banyak aspek yang perlu dikaji ulang agar lebih relevan dengan realitas pertambangan dan pengolahan nikel di Tanah Air,” katanya.

Dalam upaya meningkatkan penerapan standar ESG, Meidy menekankan pentingnya kolaborasi antara pemerintah, industri, dan pasar global.

“Kami telah bertemu dengan beberapa produsen kendaraan listrik global, seperti Tesla, Mercedes-Benz, dan Volkswagen. Mereka menginginkan produk nikel dari Indonesia yang memenuhi standar ESG yang tinggi, namun standar tersebut harus disesuaikan dengan konteks Indonesia,” ujarnya.

Pada akhir Februari 2025, tuturnya menginfokan, akan diadakan forum diskusi yang melibatkan pemerintah, agen ESG, dan original equipment manufacturer (OEM) untuk mencari solusi terbaik terkait implementasi standar ESG dan kebutuhan pasar.

“Kami berharap dengan adanya forum ini, Indonesia dapat memperoleh pemahaman yang lebih jelas mengenai apa yang dibutuhkan oleh pasar global dan bagaimana cara kita menyesuaikan industri nikel domestik agar lebih berkelanjutan,” ucapnya.

Terakhir, ia menyampaikan bahwa APNI sedang menjajaki peluang untuk mengembangkan bursa nikel di Indonesia.

“Kami sedang bekerja dengan Kementerian Perdagangan untuk melihat kemungkinan membentuk Indonesia Metal Exchange pada 2025. Dengan adanya bursa nikel ini, produk nikel Indonesia dapat diperdagangkan secara lebih efisien dan transparan, sehingga meningkatkan daya saing Indonesia di pasar internasional,” ujarnya.

Menutup pembicaraannya, ia berharap besar bagi masa depan industri nikel Indonesia, dengan tetap mengedepankan keberlanjutan dan penerapan standar ESG yang dapat diterima oleh pasar global.

“Kami berkomitmen untuk memastikan bahwa produk nikel Indonesia tidak hanya memenuhi kebutuhan domestik, tetapi juga diterima dengan baik di pasar global, khususnya Eropa dan Amerika,” tandasnya. (Shiddiq)