Beranda Asosiasi Pertambangan Peran Strategis Indonesia dalam Produksi Nikel Dunia: Menjadi yang Nomor Satu

Peran Strategis Indonesia dalam Produksi Nikel Dunia: Menjadi yang Nomor Satu

2519
0
Sekum APNI Meidy Katrin Lengkey dalam acara FGD bertemakan Kajian Efisien dan Efektivitas Pengolahan dan Pemurnian Nikel di Dalam Negeri oleh Ditjen Minerba bekerjsama dengan ITB, Jumat (13/12/2024)

NIKEL.CO.ID, JAKARTA – Indonesia semakin mengukuhkan dirinya sebagai pemain utama dalam industri nikel global. Menurut Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), peran Indonesia dalam produksi nikel dunia telah mencapai posisi teratas, menjadikannya produsen nikel terbesar di dunia.

Pernyataan ini disampaikan oleh Sekretaris Umum APNI, Meidy Katrin Lengkey, dalam acara Focus Group Discussion (FGD) yang digelar oleh Direktorat Jenderal (Ditjen) Mineral dan Batu Bara (Minerba) Kementerian ESDM, bekerja sama dengan Tim Akademisi Program Studi Teknik Metalurgi Institut Teknologi Bandung (ITB). Tema yang diangkat dalam diskusi tersebut adalah “Efisiensi dan Efektivitas Pengolahan dan Pemurnian Nikel di Dalam Negeri,” yang merupakan hasil kajian dari Tim Akademisi ITB yang diadakan secara daring dan luring pada Jumat (13/12/2024).

Meidy Katrin Lengkey dalam pemaparannya mengungkapkan bahwa Indonesia memiliki peran yang sangat besar dalam produksi bijih nikel global. Berdasarkan data dari International Nickel Study Group (INSG) yang berbasis di Lisbon, Portugal, Indonesia pada tahun 2024 diperkirakan akan memproduksi 1,669 juta ton nikel dan turunannya hingga akhir September 2024. Angka ini menunjukkan dominasi Indonesia di pasar nikel dunia.

Lebih lanjut, data dari konsultan analis nikel internasional, Macquarie, menunjukkan bahwa pada tahun 2023 Indonesia menghasilkan sekitar 1,9 juta ton nikel, yang berkontribusi hingga 57% dari total produksi nikel global. Dalam periode 2020-2024, Indonesia diperkirakan akan menambah pasokan nikel baru sebesar 1,5 juta ton, sementara produksi global diperkirakan akan menurun sebesar 450 ribu ton.

Meski Indonesia menguasai sebagian besar produksi nikel dunia, Meidy menyebutkan adanya tantangan besar terkait permintaan dan harga. Indonesia sudah mengalami oversupply pada tahun lalu, yang menyebabkan penurunan harga nikel di pasar global. Hal ini berpotensi membebani produsen, karena harga yang rendah bisa meningkatkan biaya produksi, terutama dalam hal penerapan standar Environmental, Social, and Governance (ESG) yang semakin ketat.

“Saat harga nikel terus turun, sementara biaya ESG meningkat, kami khawatir banyak pabrik yang bisa saja tutup. Pasar belum memberikan harga premium untuk produk nikel berbasis ESG, meskipun beberapa negara atau pabrik berharap untuk mendapatkan harga yang lebih tinggi dengan memenuhi standar ESG,” ujarnya.

Dalam diskusi tersebut, Meidy juga menekankan pentingnya Indonesia untuk terus memantau kebutuhan nikel dunia dan menciptakan keseimbangan antara pasokan dan permintaan. Meskipun Indonesia memproduksi sebagian besar nikel dunia, banyak tantangan yang harus dihadapi, terutama terkait dengan produk nikel kelas dua seperti NPI (Nickel Pig Iron), feronikel, dan MHP (Mixed Hydroxide Precipitate), yang masih mendominasi ekspor nikel Indonesia.

Konsumsi nikel global saat ini banyak difokuskan pada sektor stainless steel dan baterai kendaraan listrik (EV). Oleh karena itu, Indonesia harus terus berinovasi dan mengoptimalkan kapasitas smelter dalam memproduksi produk hilir nikel yang lebih bernilai tinggi, seperti nikel sulfat untuk baterai EV, agar dapat mempertahankan dominasi globalnya.

Selain itu, pengolahan dan pemurnian nikel di dalam negeri menjadi fokus utama dalam menciptakan nilai tambah. Indonesia harus mempercepat proses hilirisasi nikel, dengan meningkatkan kapasitas smelter dan pengolahan produk nikel di dalam negeri, agar produk nikel Indonesia dapat bersaing di pasar global dengan kualitas yang lebih baik dan harga yang kompetitif.

Indonesia telah membuktikan dirinya sebagai pemain utama dalam industri nikel dunia, dengan kontribusi sebesar 57% dari produksi global pada tahun 2023. Namun, tantangan terkait harga, oversupply, dan permintaan pasar yang fluktuatif harus dihadapi dengan kebijakan yang tepat, inovasi dalam pengolahan, dan pemenuhan standar ESG.

APNI terus mengingatkan pentingnya keseimbangan antara pasokan dan permintaan, serta kebutuhan untuk mendorong hilirisasi produk nikel agar Indonesia dapat mempertahankan posisinya sebagai produsen nikel nomor satu di dunia.

Dengan terus mengembangkan sektor nikel dan meningkatkan kapasitas pengolahan dalam negeri, Indonesia dapat memperkuat perannya sebagai penentu utama dalam pasar nikel global, sekaligus mengoptimalkan manfaat ekonomi bagi negara. (Shiddiq)