Beranda Berita Nasional APNI Proyeksikan Produksi Nikel Tahun 2021 Akan Naik, Ini Alasannya

APNI Proyeksikan Produksi Nikel Tahun 2021 Akan Naik, Ini Alasannya

818
0

NIKEL.CO.ID – Ekonomi yang berangsur pulih seiring dengan penanganan pandemi covid-19 ditaksir bakal meningkatkan produksi dan penjualan produk mineral Indonesia pada tahun 2021, termasuk untuk komoditas bijih nikel.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) Meidy Katrin Lengkey optimistis pemulihan covid-19 seiring dengan vaksinasi bakal meningkatkan kinerja produksi dan penjualan nikel tahun ini.

Adapun pada tahun 2020 lalu, realisasi penjualan bijih nikel ke smelter dari perusahaan anggota APNI tercatat sebesar 40 juta metric ton, atau sekitar 40% dari total Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) tahun lalu.

Meidy mengungkapkan, aktivitas produksi pertambangan bijih nikel mulai normal, apalagi diiringi dengan kenaikan harga mineral nikel dalam beberapa waktu belakangan ini.

“Tentu memacu para pengusaha pertambangan nikel untuk meningkatkan kapasitas produksi atau memaksimalkan kapasitas kuota RKAB yang ada,” terang Meidy, Senin (15/2/2021).

Saat ini, Harga Patokan Mineral (HPM) bijih nikel bulan Februari 2021 untuk kadar 1,8% dengan Moisture Content (MC) 30% ditetapkan dengan harga Free on Board (FoB) US$ 41,74 per metrik ton. Meidy memproyeksikan harga bijih nikel akan terus meningkat seiring dengan harga mineral nikel yang juga terus menanjak.

Mengenai target volume produksi dan penjualan bijih nikel tahun ini, Meidy belum membeberkan secara rinci. Yang pasti, capaian produksi dan penjualan akan menyesuaikan kapasitas input dari smelter.

Dihubungi terpisah, praktisi tambang dan smelter Arif S. Tiammar perkembangan ekonomi dan pasar saat ini memberi prospek positif bagi permintaan komoditas mineral dan logam. Terlebih, gairah produksi dan penjualan produk tambang juga bisa terangkat oleh momentum supercycle atas beberapa komoditas andalan Indonesia.

Pada siklus kali ini, harga beberapa komoditas ada dalam tren peningkatan seiring dengan naiknya kebutuhan beberapa industri yang sangat tergantung dengan pasokan mineral dan logam.

“Dengan demikian, prognosis awal atas produksi dan penjualan mineral dan logam Indonesia pada 2021 optimistis akan naik dan lebih baik dibandingkan tahun lalu,” ungkap Arif.

Terkait realisasi produksi tahun lalu, Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Mineral Kementerian ESDM Sugeng Mujiyanto mengungkapkan realisasi produksi bijih nikel pada tahun lalu tercatat sebanyak 48 juta ton.

Dia menegaskan, sesuai aturan, ekspor bijih nikel pada tahun lalu sudah ditutup, sehingga seluruh penjualan diserap oleh pasar domestik.

“Semua produksi bijih nikel sejak 2020 diharuskan dijual di dalam negeri, tidak boleh di ekspor. Untuk 2021 (produksi dan penjualan) diharapkan dapat meningkat,” tegas Sugeng.

Meidy bilang, pemulihan ekonomi dan tren harga nikel saat ini menjadi sentimen yang sangat baik bagi penambang. Namun, bukan berarti implementasi tata niaga nikel domestik berjalan tanpa catatan. Pasalnya dalam pelaksanaannya masih banyak perusahaan smelter, traders dan perusahaan pertambangan yang belum mematuhi tata niaga domestik berdasarkan HPM.

Meidy pun mengungkapkan sejumlah catatan untuk perbaikan tata niaga nikel. Pertama, terkait harga FoB dan harga Cost, Insurance and Freight (CIF). Meidy bilang, saat ini harga yang berlaku adalah harga CIF, bukan FoB. Hal ini mengakibatkan penambang harus menanggung biaya angkut atau memberi subsidi.

Kontrak CIF yang berlaku adalah HPM ditambah US$ 2 per metric ton (MT).

“Artinya biaya pengiriman tongkang yang dibayarkan oleh perusahaan smelter hanya US$ 2 per MT, sementara biaya tongkang dari seluruh tambang menuju smelter berkisar antara US$ 4-US$ 12 per MT,” terang Meidy.

Atas kondisi tersebut, APNI meminta agar pemerintah dapat menyeragamkan biaya pengiriman tongkang menjadi US$ 6 per MT. Dengan begitu perusahaan tambang dengan lokasi yang jauh tidak terlalu berat menanggung biaya subsidi.

Kedua, harga pinalty yang tidak sesuai dengan HPM. Meidy membeberkan, perusahaan smelter hanya menerima bijih nikel dengan kadar di atas 1,8%, dengan kontrak pinalty jika terjadi penurunan kadar.

APNI pun meminta pemerintah untuk dapat mengatur kontrak pinalty agar sesuai dengan HPM.

“Sehingga jika terjadi penurunan kadar Ni, harga pinalty adalah sesuai dengan HPM,” terang Meidy.

Ketiga, terkait surveyor wasit (umpire). Pasalnya perusahaan smelter masih ada yang tidak memberlakukan umpire apabila terjadi penurunan kadar. Padahal hal ini sudah diatur dalam Peraturan Menteri ESDM No.11 Tahun 2020.

Alhasil, pada saat terjadi kasus perbedaan selisih (deviasi) kadar, tidak ada pihak yang dapat memberikan keputusan.

“Hal ini menyebabkan penambang berada dalam posisi yang sangat lemah atau kalah dikarenakan tidak dapat memperoleh hasil verifikasi akhir,” sambung Meidy.

Keempat, lambatnya hasil analisis laboratorium. Saat ini terdapat lima surveyor untuk menganalisa bijih nikel. Namun, pihak perusahaan smelter lebih banyak menggunakan Anindya Wiraputra Konsult dan Carsurin.

Akibatnya, terjadi penumpukan analisa oleh pihak surveyor Anindya Wiraputra Konsult dan Carsurin yang terlalu lama mengeluarkan hasil Certificate of Analysis (CoA). Hal ini berdampak kepada proses bisnis yaitu keterlambatan pembayaran.

APNI pun meminta agar dilakukan pembagian uji kadar analisa merata kepada lima surveyor terdaftar.

“Sehingga terjadi keadilan untuk surveyor lain dan hasil analisa bisa lebih cepat didapat,” pungkas Meidy.

Sumber: KONTAN