Beranda Asosiasi Pertambangan Tri: Investasi Jangka Panjang dalam Pengembangan SDM, Kunci Sukses Transisi Energi

Tri: Investasi Jangka Panjang dalam Pengembangan SDM, Kunci Sukses Transisi Energi

605
0
BPSDM ESDM adakan Acara Stakeholders Consutation Agenda Kebijakan Pengembangan SDM untuk Transisi Energi Menuju Emisi Nol Bersih 2060 dalam rangka Road to Human Capital Summit 2025, Kantor BPSDM, Jakarta, Selasa (6/5/2025)

NIKEL.CO.ID, JAKARTA — Investasi jangka panjang dalam pengembangan sumber daya manusia (SDM) sebagai kunci sukses transisi energi. Hal itu ditekankan Direktur Jenderal (Dirjen) Mineral dan Batu Bara (Minerba) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Tri Winarno.

Tri mengatakan hal itu pada acara Stakeholders Consultation, bertajuk “Agenda Kebijakan Pengembangan SDM untuk Transisi Energi Menuju Emisi Nol Bersih 2060” yang diselenggarakan Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPSDM) Kementerian ESDM, di Aula Sekar Jagad, Gedung BPSDM ESDM, Jakarta Selatan, Selasa (6/5/2025).

“Kalau kita tanya negara mana yang paling cepat akselerasinya terhadap kemajuan? Salah satunya China. Mereka sejak 2005 mengirim minimal 20 ribu orang per tahun ke luar negeri untuk belajar. Itu investasi jangka panjang yang tidak populer saat itu, tapi sekarang hasilnya luar biasa,” ujarnya.

Ia juga mencontohkan, Jerman sebagai negara lain yang sukses melakukan transisi energi secara bertahap.

“Transisi energi Jerman sudah dimulai sejak 1922 dan setelah reunifikasi, mereka mengurangi ketergantungan pada nuklir. Bahkan, pada 2016, mereka menerima 1,4 juta pengungsi Suriah untuk mendukung bonus demografi,” tambahnya.

Dia mengatakan, Indonesia masih memiliki peluang untuk memanfaatkan bonus demografi pada 2030 sebagai momentum menuju Indonesia Emas 2045.

“Kalau kita bisa rancang perencanaan dengan baik, saya yakin kita akan berhasil. Tapi Kementerian ESDM sendiri kadang masih gagap terhadap perubahan regulasi,” katanya.

Dirjen mengakui adanya keterlambatan dalam penyesuaian SDM setelah penarikan kewenangan oleh pemerintah pusat melalui UU Nomor 3 Tahun 2020. Ia juga menyoroti pentingnya sinergi antara pemerintah dan perguruan tinggi.

“Di luar negeri, 40% anggaran pendidikan dialokasikan untuk riset. Di sini, 90% perguruan tinggi masih mengandalkan UKT. Karena itu, saya cenderung lebih memilih kerja sama dengan kampus dibanding konsultan, supaya link and match lebih cepat,” ujarnya.

Lulusan sarjana teknik pertambangan dari UPN Veteran Yogyakarta, magister teknik geologi dari UGM, dan doktor teknik pertambangan dari Freiberg Technische Universitat Bergakademie, Jerman, itu menegaskan bahwa transisi energi tak bisa dilihat hanya dari pengurangan energi fosil, tapi dari perubahan energy mix dan peningkatan efisiensi.

“Negara berkembang seperti kita, ekonominya tumbuh seiring peningkatan konsumsi energi. Maka, energi akan tetap naik, meski komposisinya berubah,” tegasnya.

Ia juga memaparkan perkembangan transisi energi global, seperti penetrasi mobil listrik di China yang sudah mencapai 40% dari total penjualan, dibandingkan dengan hanya 5% di Australia.

“Ini menunjukkan bahwa kecepatan transisi sangat bergantung pada kesiapan infrastruktur dan kebijakan nasional,” paparnya.

Meski mendukung energi bersih, Tri menegaskan sektor mineral dan batu bara serta migas masih memegang peran vital.

“Akan ada lelang 60 blok migas. Refinery kita juga sudah tua, terakhir dibangun tahun 1980-an. Kita harus tetap eksplorasi,” tegasnya.

Ia juga menyoroti potensi diversifikasi batu bara untuk hilirisasi, seperti Gasifikasi Nasional Indonesia (GNI).

“Di China bahkan sudah mencairkan batu bara sejak 1927. Jadi jangan anggap remeh potensi ini,” ungkapnya.

Terkait keberlanjutan, Tri mengungkap bahwa Kementerian ESDM telah memperkuat pengawasan pascatambang.

“Saat ini 69% tambang sudah punya rencana reklamasinya. Target kita akhir tahun mencapai 90%,” tuturnya seraya menambahkan bahwa dana reklamasi pun kini telah mencapai Rp18 triliun yang ditempatkan di Bank Indonesia.

Ia menegaskan bahwa perusahaan tambang wajib memiliki Program Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat (PPM), terutama untuk bidang pendidikan dan kesehatan.

“Berbeda dengan CSR yang opsional di sektor lain, PPM di industri kami mandatori dan dibebankan ke perusahaan. Mau untung atau tidak, tetap wajib,” tambahnya.

Pria yang menjabat Dirjen Minerba sejak 20 September 2024 itu menutup dengan harapan bahwa Indonesia mampu memanfaatkan kekuatan demografi, reformasi kebijakan, dan inovasi teknologi untuk mengakselerasi transisi energi yang adil dan berkelanjutan.

“Kalau kita merancang ini dengan serius, saya yakin 2045 Indonesia bisa berdiri sejajar dengan negara maju,” pungkasnya.

Acara konsultasi ini menjadi wadah strategis untuk menyelaraskan visi dan strategi antara pemerintah, akademisi, dan pelaku industri demi masa depan energi Indonesia yang lebih hijau dan berdaya saing. (Shiddiq)