

NIKEL.CO.ID, JAKARTA — Kepala Badan Geologi, Muhammad Wafid, menegaskan pentingnya penguatan sumber daya manusia (SDM) dalam menghadapi tantangan transisi energi menuju target emisi nol bersih pada 2060.
Hal itu disampaikannya dalam acara Stakeholders Consultation bertajuk “Agenda Kebijakan Pengembangan SDM untuk Transisi Energi Menuju Emisi Nol Bersih 2060”, yang diselenggarakan Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPSDM) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
“Kalau dari sisi Badan Geologi, saya kira kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan geologi merambah hingga ke virgin fossil. Geologi adalah fondasi dari hampir semua subsektor di ESDM, baik migas, mineral dan batu bara, maupun energi baru dan terbarukan (EBT),” ujar Wafid di Aula Sekar Jagad, Gedung BPSDM ESDM, Jakarta Selatan, Selasa (6/5/2025).
Ia menjelaskan, meski Badan Geologi tidak memiliki keterlibatan langsung dalam sektor kelistrikan, pihaknya tetap menjalankan berbagai kegiatan penting, seperti survei, identifikasi, hingga penelitian untuk mendukung inisiatif energi hijau. Salah satunya adalah keterlibatan dalam pemetaan potensi lokasi penyimpanan karbon permanen atau carbon capture and storage (CCS).

“Kami mencoba meneliti di mana saja lokasi yang punya potensi untuk permanent storage dari CCS di 128 cekungan yang ada di Indonesia. Untuk CCUS (carbon capture utilization and storage, red) yang dilakukan di sumur migas. Memang, itu ranah pelaksanaannya di sektor produksi. Tapi untuk penyimpanan jangka panjang, kami perlu meningkatkan kemampuan dalam memahami formasi batuan secara detail,” tegasnya.
Dia juga menyoroti pentingnya kolaborasi lintas lembaga, terutama dalam kegiatan persiapan wilayah kerja (WK) migas.
“Kami bekerja sama dengan Lemigas dalam survei migas. Saya sendiri pernah menjadi kepala pusat di Lemigas dan saya paham betul sinergi yang dibutuhkan—mulai dari ahli geologi, minyak, sedimentologi, struktur, stratigrafi, hingga lainnya. Namun, saat ini beberapa keahlian mulai langka, seperti sedimentologi dan paleontologi,” katanya.
Dalam sektor panas bumi, Wafid mengakui bahwa konflik sosial menjadi tantangan utama di lapangan. Oleh karena itu, ia menyarankan agar Badan Geologi turut mengembangkan pendekatan sosial dalam kegiatannya.

“Seharusnya ada SDM yang ahli dalam social approach, bukan hanya teknis. Selama ini yang turun ke lapangan adalah tenaga teknis, yang mungkin kurang memiliki kemampuan komunikasi sosial dengan masyarakat,” tambahnya.
Ia juga mengkritik perubahan kurikulum pendidikan geologi selama pandemi Covid-19, yang menghapus kewajiban praktik pemetaan (field mapping) bagi mahasiswa geologi.
“Mapping itu fundamental bagi seorang geologis. Itu menunjukkan kekuatan mereka di lapangan, bukan hanya dari balik komputer,” ujarnya.
Menutup pernyataannya, ia mengangkat kembali pentingnya pendidikan di bidang panas bumi. UPN Veteran Yogyakarta, sambungnya, sempat membuka program studi geothermal pada 1984, namun kemudian melebur ke jurusan minyak karena minimnya peminat.

“Melihat potensi panas bumi Indonesia yang begitu besar, saya kira sudah waktunya perguruan tinggi membuka kembali program khusus untuk geothermal. Ini penting untuk menyiapkan SDM ke depan,” pungkasnya. (Shiddiq)