

NIKEL.CO.ID, JAKARTA — Ketidakpastian regulasi mengakibatkan meningkatnya aktivitas tambang nikel ilegal sebagai jalan pilihan pengusaha untuk mendapatkan harga yang lebih murah.
Hal ini disampaikan Sekretaris Umum Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Meidy Katrin Lengkey, yang mengungkapkan kekhawatiran terhadap meningkatnya aktivitas penambangan ilegal akibat ketidaksiapan regulasi menghadapi perubahan global.
“Kami sudah lihat di Filipina dan Kalimantan, ketika perhitungan tidak kuat, para pelaku lebih memilih jalur ilegal karena dianggap lebih murah dan mudah,” jelas Meidy dalam Rapat Koordinasi APNI dan FINI bersama Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM di kantor Ditjen Minerba, Kamis (17/4/2025).

Selain itu, katanya menambahkah, disparitas harga juga memengaruhi perilaku pelaku usaha.
“Karena perhitungan kita kalau misalkan di batas harga US$17.000 dan kalau di bawah US$17.000, yang sekarang bisa sampai US$20.000 atau US$11.000, mereka akan berpikir ulang. Dan, kalau tidak dikendalikan, yang ilegal bisa kembali merajalela,” ujarnya mewanti-wanti.
Oleh karena itu, ia menekankan perlunya upaya pemerintah untuk mencegah kebijakan baru menjadi celah bagi aktivitas ilegal.
“Karena begitu banyak yang berubah, kita wajib memberikan kejelasan agar tidak dimanfaatkan oleh penambang ilegal,” tekannya.

Sementara itu, masih pada waktu yang sama, Ketua Umum Forum Industri Nikel Indonesia (FINI), Alexander Barus, menyoroti soal keterbatasan kuantitas Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) dan program akulturasi industri.
“RKAB dan akulturasi di berbagai negara itu terbatas, apalagi kalau angka produksinya berubah-ubah. Kalau RKAB-nya ditambah tanpa perhitungan jelas, hasilnya bisa kacau,” katanya.
Ia juga mengingatkan pemerintah untuk tidak membiarkan negara-negara penghasil sumber daya menjadi sekadar pasar.
“Jangan sampai kita yang produksi, tapi negara lain yang untung. Karena, nanti yang rugi kita sendiri,” tegasnya.

Presiden Direktur Harita Nickel, Roy Arman Arfandy, juga menyampaikan mengenai kebijakan Global Minimum Tax (GMT) yang mulai diperkenalkan pada 2020 dan akan diperluas penerapannya pada 2026 dipandang sebagai tantangan besar bagi pelaku industri pertambangan untuk meningkatkan sistem teknologi perpajakan pertambangan di Indonesia.
“GMT ini akan semakin besar pengaruhnya pada 2026. Ini akan berdampak pada pelaku industri yang berbasis teknologi tinggi,” ujar Roy dalam kesempatan yang sama.
Ia menambahkan, struktur pendapatan dari teknologi kini berkembang sangat cepat dan tidak lagi linier, sehingga sistem perpajakan saat ini perlu menyesuaikan.
“Pangkat-pangkat (PNS) sekarang sudah agak manium—bukan linier lagi—karena teknologi yang tadinya butuh 10 tahun, sekarang dalam satu tahun bisa besar. Jadi, ketika dari awal tidak dikenakan pajak, lalu tiba-tiba langsung 10 persen, itu seperti tekanan besar yang datang tiba-tiba,” tegasnya.
Perlu diketahui, GMT adalah kebijakan perpajakan internasional yang diperkenalkan oleh OECD (Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi) untuk mencegah perusahaan multinasional mengalihkan keuntungan ke negara-negara dengan tarif pajak rendah (tax havens) demi menghindari pajak.
GMT menetapkan bahwa semua perusahaan multinasional harus membayar pajak minimum global sebesar 15%, tidak peduli di negara mana mereka beroperasi.
Tantangan bagi industri teknologi dan pertambangan di Indonesia muncul karena:
1. Banyak perusahaan besar di dua sektor ini yang beroperasi lintas negara. Jika mereka terbiasa mengoptimalkan pajak lewat struktur global yang kompleks, GMT akan membatasi ruang gerak tersebut.
2. Indonesia harus menyesuaikan kebijakan perpajakannya. Jika tidak, pendapatan dari pajak justru bisa dinikmati negara lain tempat induk perusahaan berada.
3. Industri harus lebih transparan dan patuh dalam pelaporan keuangan dan pajak.
Penerapan penuh kebijakan ini rencananya akan dimulai pada 2026, sehingga sekarang negara dan pelaku usaha sedang dalam tahap penyesuaian dan persiapan.
Menurutnya, demensiasi atau penurunan nilai produksi akan menjadi salah satu dampak nyata.

“Ini akan menyakitkan, karena rakyat bisa jadi korban dan ekonomi bisa terganggu,” katanya. Ia juga menyinggung bahwa kebijakan yang tidak terintegrasi hanya akan menyulitkan pelaku industri dalam merencanakan produksi jangka panjang.
Dalam kesempatan yang sama, Dirjen Minerba, Tri Winarno, menyatakan bahwa pemerintah memahami kondisi ini.
“Kami rasa, kebijakan yang ada seharusnya bisa menyesuaikan. Tidak perlu lebih dari itu,” ujarnya. (Shiddiq)