NIKEL.CO.ID, JAKARTA — Industri smelter di Indonesia tengah menghadapi sejumlah tantangan besar, terutama konsistensi kebijakan dan soliditas antarsektor.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Industri Pengolahan dan Pemurnian Indonesia (AIPI), Haykel Hubeis, menilai bahwa meskipun sektor hilir smelter memiliki potensi besar, ketergantungan terhadap sektor hulu dan hilir yang belum berjalan dengan sempurna menjadi hambatan utama.
“Kalau tantangan dalam negeri itu adalah tantangan tentang soliditas kebijakan, konsistensi kebijakan, dan kepastian dari pemerintah. Industri smelter adalah industri hilir, tetapi ketergantungan terhadap hulu dan hilir belum berjalan sempurna,” ujar Haykel dalam tayangan acara CNBC Indonesia, Senin (13/1/2025).
Menurutnya, negara-negara maju sudah memiliki peran yang jelas antara kementerian yang menangani sektor hulu dan hilir, namun hal ini masih kurang terlihat di Indonesia. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang menangani sektor hulu lebih banyak mengatur perizinan dan aturan terkait hulu. Sementara itu, sektor hilir yang berfokus pada industri smelter masih minim aturan yang mendetail.
“Untuk smelter, kementerian yang terkait dengan sektor hilir, seperti Kementerian Perindustrian, perlu memperkuat aturan dan regulasi, serta bekerja lebih erat dengan Kementerian ESDM yang mengurusi sektor hulu. Kolaborasi yang lebih efektif antar kedua kementerian ini akan sangat membantu dalam mengidentifikasi masalah yang ada pada industri smelter,” jelasnya.
Salah satu tantangan besar yang dihadapi adalah banyaknya smelter yang izinnya berdiri sendiri tanpa koordinasi yang jelas, sehingga banyak smelter yang belum berjalan atau masih dalam tahap pembangunan. Dia menekankan pentingnya identifikasi masalah agar kebijakan yang tepat dapat diambil untuk mempercepat proses hilirisasi.
“Mengapa smelter ini tidak berjalan? Itu harus diidentifikasi. Jika penyebabnya bisa ditemukan, kita bisa mencari solusi yang lebih efektif dan segera menuntaskan masalah yang ada,” tambahnya.
Di sisi lain, ia mengungkapkan, industri baja Indonesia juga menghadapi permasalahan serupa, terutama di sektor hilir yang sangat bergantung pada impor. Haykel menyebutkan, meskipun Indonesia memiliki beberapa smelter baja, produksi baja dalam negeri masih mengalami kendala akibat kekurangan bahan baku dan minimnya pasokan di sektor midstream. Sementara itu, kebijakan impor baja dengan tarif 0% untuk barang-barang baja yang masuk ke Indonesia membuat persaingan semakin tidak sehat.
“Industri baja saat ini dalam kondisi yang memprihatinkan. Dari sektor hulu, midstream, hingga downstream, semuanya menghadapi tantangan besar. Di midstream, kita masih sangat bergantung pada impor. Dan masalahnya, baja impor masuk dengan harga yang sangat kompetitif karena kebijakan tarif 0%, yang merugikan produsen baja dalam negeri,” ujarnya.
Ia juga menyoroti bahwa pembangunan fasilitas pemerintah yang menggunakan bahan impor juga turut memperburuk kondisi industri baja domestik. Oleh karena itu, pemerintah perlu segera melakukan evaluasi terhadap kebijakan impor baja dan merumuskan strategi untuk melindungi industri baja dalam negeri agar bisa bersaing dengan produk impor.
Terkait dengan rencana Presiden Prabowo Subianto untuk meningkatkan sektor perumahan dengan pembangunan 3 juta rumah setiap tahunnya, dia optimis bahwa ini bisa memberikan sentimen positif bagi industri baja, jika kebijakan yang diambil berpihak pada produksi dalam negeri. Namun, ia menegaskan bahwa pemerintah harus lebih fokus dalam mendukung sektor baja domestik agar mampu berkompetisi dengan produk baja impor yang lebih murah.
“Program Ppresiden untuk membangun 3 juta rumah setiap tahunnya tentu saja dapat menjadi peluang bagi industri baja. Namun, syaratnya pemerintah harus memberikan dukungan yang lebih besar terhadap industri baja dalam negeri agar mampu memproduksi baja berkualitas dengan harga yang kompetitif,” tutupnya.
Untuk mendukung hilirisasi industri smelter dan baja di Indonesia, diperlukan langkah-langkah kebijakan yang lebih terintegrasi antara sektor hulu dan hilir, serta perlindungan terhadap industri dalam negeri dari persaingan yang tidak sehat.
Pemerintah, melalui kementerian terkait, harus mampu mengidentifikasi masalah secara lebih rinci dan mengambil kebijakan yang tepat untuk memperkuat daya saing industri dalam negeri, baik di sektor smelter maupun baja. (Shiddiq)