NIKEL.CO.ID, JAKARTA – Keberhasilan hilirisasi nikel yang memberikan dampak signifikan terhadap pendapatan negara dan meningkatkan nilai tambah berkali-kali lipat ternyata tidak sebanding dengan imbasnya terhadap lingkungan dan masyarakat sekitar tambang. Hal ini ditengarai karena adanya praktik-praktik kotor greenwashing.
Pimpinan Yayasan Tanah Merdeka (YTM), Richard, mengatakan, korban sudah berjatuhan setiap hari, bingkai praktik ramah lingkungan yang digembor-gemborkan pemerintah untuk investasi nikel sangat berbanding terbalik dengan kenyataan di lapangan.
“Kondisi riil di lapangan jauh dari kata good mining practice. Yang hadir saat ini di warga adalah krisis air, penyakit pernapasan, banjir, dan longsor,” kata Richard dalam Konferensi Nasional Mineral Kritis Indonesia (KNMKI), 9-10 Oktober 2024, pada siaran pers yang diterima nikel.co.id, Selasa (15/10/2024).
Konferensi tersebut menghasilkan komunike bersama untuk mendesak pemangku kepentingan di sektor mineral kritis, khususnya nikel, untuk mengutamakan hak asasi manusia kelompok-kelompok sosial marjinal serta tata kelola lingkungan dan sosial yang berkelanjutan.
Selain itu, dia mengungkapkan, intensitas kerja yang tinggi dengan sistem tiga shift-tiga regu di industri nikel tidak hanya memperburuk kondisi sosial dan ekonomi masyarakat lokal, tetapi juga menimbulkan berbagai penyakit akibat kerja (PAK).
“Pekerja seringkali mengalami kelelahan berlebih, gangguan tidur, serta masalah kesehatan kronis, seperti gangguan pernapasan dan nyeri otot-sendi, yang diperparah dengan kurangnya penerapan standar kesehatan dan keselamatan kerja (K3),” ungkapnya dengan pedih hati.
Ia melanjutkan, upah yang tidak setara dan minimnya perlindungan kesehatan bagi pekerja menunjukkan lemahnya kebijakan ketenagakerjaan yang seharusnya melindungi kesejahteraan mereka.
“Sementara itu, perusahaan memperoleh keuntungan besar, masyarakat justru harus menanggung beban sosial dan kesehatan yang semakin meningkat akibat aktivitas industri ini,” lanjutnya.
Mengenai hal itu, Deputi Direktur Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, Meliana Lumbantoruan, menilai, pengawasan terhadap perusahaan tambang nikel juga masih jauh dari kata optimal, terutama di daerah. Keterbatasan kewenangan pemerintah provinsi serta tumpang-tindih kebijakan pusat-daerah semakin mempersulit situasi. Dampaknya, penegakan hukum terhadap pelanggaran lingkungan seringkali tidak berjalan efektif.
Lebih jauh, UU Minerba dan Perppu No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja, yang memusatkan wewenang izin operasi di tingkat pusat, mempersempit ruang gerak masyarakat sipil dalam melakukan pengawasan. Mekanisme pemulihan bagi masyarakat terdampak pun kerap mandek, terutama di wilayah yang pemerintah daerahnya memiliki konflik kepentingan karena kepemilikan saham dalam industri tambang nikel.
“Industri nikel memang memainkan peran penting dalam mendukung transisi energi, namun perkembangan pesat sektor ini harus diimbangi dengan perhatian yang serius terhadap dampak lingkungan dan sosial. Kelemahan dalam perencanaan strategis nasional, ditambah dengan tata kelola yang masih jauh dari transparan, serta lemahnya pengawasan terhadap industri tambang nikel, justru memperparah krisis lingkungan yang sedang terjadi,” sebut Meliana.
Oleh sebab itu, pemerintah perlu memperkuat tata kelola sektor nikel dengan meningkatkan transparansi, akuntabilitas, dan koordinasi antarlembaga, baik di tingkat pusat maupun daerah.
“Selain itu, keterlibatan aktif masyarakat sipil dalam pengawasan juga harus dijamin agar kegiatan industri berjalan dengan lebih bertanggung jawab dan pemulihan bagi masyarakat terdampak bisa terwujud dengan lebih efektif,” ujarnya.
Dalam komunike bersama itu ditegaskan kepada pemerintahan Prabowo-Gibran yang akan dilantik bahwa hilirisasi nikel tidak boleh dijadikan semata-mata alat untuk pertumbuhan ekonomi. Realitas di lapangan menunjukkan, banyak dampak negatif yang mengancam kesejahteraan masyarakat dan lingkungan di sekitar kawasan hilirisasi nikel.
Hilirisasi nikel seharusnya menjadi langkah strategis untuk meningkatkan nilai tambah dan menciptakan lapangan kerja yang layak. Namun, komitmen pemerintah dalam memastikan pertumbuhan yang adil dan berkelanjutan masih diragukan.
Komunike bersama yang dihasilkan oleh lebih dari 60 organisasi/komunitas (organisasi masyarakat sipil, masyarakat terdampak dan serikat pekerja industri pengolahan nikel) menegaskan bahwa pengelolaan sumber daya mineral harus mempertimbangkan hak asasi manusia kelompok-kelompok sosial marjinal dan dampak lingkungan secara lebih serius. (Shiddiq)