Beranda Juli 2024 Risiko Kehabisan Cadangan Tinggi, Minerba: Indonesia Perlu Batasi Konsumsi Bijih Nikel

Risiko Kehabisan Cadangan Tinggi, Minerba: Indonesia Perlu Batasi Konsumsi Bijih Nikel

1580
0
Koordinator Pengembangan Investasi dan Kerja Sama Minerba, Direktorat Pembinaan Program Mineral dan Batu Bara, Ditjen Minerba, Kementerian ESDM, Dedi Supriyanto.
Koordinator Pengembangan Investasi dan Kerja Sama Minerba, Direktorat Pembinaan Program Mineral dan Batu Bara, Ditjen Minerba, Kementerian ESDM, Dedi Supriyanto

NIKEL.CO.ID, JAKARTA- Koordinator Pengembangan Investasi dan Kerja Sama Minerba, Direktorat Pembinaan Program Mineral dan Batu Bara, Ditjen Minerba, Kementerian ESDM, Dedi Supriyanto, menyampaikan Indonesia memiliki cadangan nikel yang cukup tinggi. Namun, tingkat konsumsi nikel di negara ini juga tinggi.

Hal tersebut tentu menimbulkan risiko kehabisan cadangan. Untuk itu, Dedi mengatakan Indonesia perlu membatasi konsumsi dari bijih nikel agar bisa berlanjut.

“Jadi, supaya industri yang lebih downstream-nya juga lebih sustained juga gitu ya. Jadi berlanjut gitu,” ujar Dedi Supriyanto, dikutip nikel.co.id Kamis, (18/7/2024).

Dirinya menilai bahwa saat ini masih sangat dibutuhkan kehadiran industri midstream untuk mengolah ke tahap berikutnya. 

“Sehingga apa yang kita produsksi seperti halnya di midstream ini adalah ketika kita melarang ekspor orenya kemudian kita memproduksi midstream yaitu nikel pig iron, ferro nikel dan nikel matte, nah itu juga masih diekspor dan itu jumlahnya cukup banyak. Yang diolah lebih lanjut lagi, ya masih sedikit,” jelasnya.

Lalu ia menjelaskan, pada grand strategy juga ada rekomendasi semacam membelokan produk dari stainless steel menjadi baterai.

Ia menerangkan, sebagian besar atau hampir 80 persen produk nikel itu untuk memproduksi stainless steel. Saat ini, lanjut dia, sedang dilakukan penelitian, rekomendasi atau diuji coba pada skala salah satu pabrik di Indonesia.

“Itu untuk dibelokan. Jadi, produksi pirometalurgi atau nikel matte itu dikonversi untuk menjadi nikel sulfat dan cobalt sulfat yang mana itu untuk bahan baku baterai jadi bukan stainless steel lagi,” jelasnya.

Dalam paparan yang ia sampaikan, tercatat sumberdaya mineral nikel ore sebesar 17,34 miliar ton, sementara cadangan sebesar 5,03 miliar ton. Untuk nikel ingot sumberdayanya 174 juta ton sementara cadangan 55 juta ton. Nikel saprolite cadangan 13 tahun, lalu nikel limonite cadangannya masih 33 tahun.

“Ini mungkin, dalam diskusi ini, yang menjadi semacam warning point kita, adalah untuk nikel. Kalau tingkat konsumsi kita dengan smelter nikel yang saat ini cukup banyak. Yang diolah lebih lanjut lagi, ya masih sedikit. Artinya masih butuh kehadiran industri midstream untuk mengolah berikutnya,” jelasnya.

“Yang kedua tadi, ngirit ngirit ya. Jangan sampe nambah smelter nikelnya yang kalo ada investasi baru itu. Begitu diarahkan ke lebih hilirnya lagi, jangan di smelter lagi gitu loh, yang mana itu mengkonsumsi ore nikelnya,” ujar dia.

Untuk itu, dirinya mengungkapkan adanya beberapa wacana terkait moratorium smelter nikel dari Kementerian ESDM kepada Menteri Perindustrian agar tidak bertambah lagi smelter nikelnya.

“Jadi jangan melihat nambah investasinya saja. Tapi investasinya itu diarahkan ke arah yang lebih hilir lagi. Misalnya tadi, untuk membelokkan nikel matte ke nikel sulfat dan cobalt sulfat. Sehingga tanpa harus mengolah ke hidrometalurgi yang mana berbeda karakter pasti berbeda investasi dan berbeda penanganannya juga gitu ya,” tuturnya. (Lili Handayani)