
NIKEL.CO.ID, JAKARTA – Penasihat Senior Bidang Ekonomi dan Kebijakan Bank Rakyat Indonesia (BRI) Danareksa Sekuritas, Prof. Dr. Telisa Aulia Fallianty memaparkan peluang dan tantangan pada pembiayaan industri nckel hingga perspektif bank dan pasar modal.
Hal ini dia sampaikan dalam acara The 3rd Nickel Producers, Processors & Buyers Conference, pada hari kedua yang diselenggarakan Petromindo di Hotel Shangri-La, Jakarta, Rabu, (8/5/2024). Melihat latar belakang maupun pembaharuan moneter (keuangan) dan ekonomi serta gambaran pertumbuhan ekonomi Indonesia yang stabil.
“Highlight dari edisi Indonesia Economic Outlook pada Q2 – 2024. Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia tumbuh 5,12% -5,17% pada Q1 – 2024, 5,0% – 5,1% untuk FY 2024, didukung oleh konsumsi domestik dan realisasi investasi langsung. Pada kuartal keempat tahun 2023, Indonesia melihat rebound dalam pertumbuhan PDB menjadi 5,04%, yang mengarah ke tingkat pertumbuhan keseluruhan sebesar 5,05% untuk tahun 2023,” kata Prof.Telisa dalam pemaparannya tersebut.
Sementara itu, dia memaparkan, seperti pertanian, manufaktur, dan perdagangan mengalami perlambatan, sektor-sektor kecil seperti transportasi, pertambangan, dan listrik menunjukkan pertumbuhan yang signifikan.
“Indonesia menghadapi risiko eksternal dari ketegangan geopolitik, perlambatan ekonomi Tiongkok, dan fluktuasi harga komoditas, yang berdampak pada surplus perdagangan dan investasi asing dari negara-negara tersebut,” ujarnya.
Ia juga menjelaskan, konsumsi rumah tangga melambat menjadi 4,83% pada kuartal IV-2023 karena kenaikan biaya dari dampak Elnino dan kenaikan suku bunga, menunjukkan penurunan daya beli. Investasi pada kuartal pertama 2024 menunjukkan pertumbuhan yang kuat, mencapai Rp401,5 triliun, dengan investasi asing langsung (FDI) berkontribusi lebih dari setengah dari total keseluruhan.
“Nilai tukar Rupiah melemah 2,96% secara year to date hingga akhir Maret 2024, dipengaruhi oleh penutupan modal asing dan ketidakpastian keuangan global sehingga memengaruhi stabilitas eksternal Indonesia,” jelasnya.
Prof. Telisa juga menuturkan, terkait ekonomi terbaru dari pertumbuhan PDB Indonesia dengan distribusi PDB dari industri pengolahan sebesar 19,28%, trading sebesar 13,15%, agriculture sebesar 11,61%, kontruksi sebesar 10,23%, pertambangan sebesar 9,34, kemudian transportasi dan pergudangan sebesar 5,93%.
Kemudian, industri pengolahan tumbuh stabil karena permintaan domestik dan asing yang terus kuat, terutama didorong oleh penambangan bijih logam, yang tumbuh 34,36% (YoY), didukung oleh peningkatan produksi bijih tembaga untuk memenuhi permintaan domestik dan luar negeri.
“Sektor pertambangan tumbuh signifikan, didukung oleh peningkatan permintaan domestik dan asing, terutama didorong oleh industri logam dasar, yang tumbuh 16,57% (YoY), didorong oleh meningkatnya permintaan asing untuk produk logam dasar besi dan baja,” tututrnya.
Dia membeberkan, untuk sektor ekonomi yang mengalami pertumbuhan besar dari penghasilan biijh nikel sebesar Rp10,79 triliun, penghasilan dari logam dasar bukan ferrous dari bijih nikel sebesar Rp8,87 triliun. Hal ini menunjukkan bahwa sektor ini sangat bergantung pada bijih nikel dan menunjukkan keterkaitan yang kuat antara non ferrous base metals dan bijih nikel.
Selain itu, dari Rp10,79 triliun output dari bijih nikel, besi dan baja dasar menggunakan Rp1,8 triliun output dari bijih nikel sebagai input dalam prosesnya. Hal ini menunjukkan bahwa sektor ini juga mengandalkan bijih nikel dan sangat menghubungkan kedua sektor tersebut.
“Produk pengecoran logam dan bahan bangunan logam memiliki hubungan yang cukup kuat dengan bijih nikel, dengan penggunaan input masing-masing 0,07 dan 0,02. Kimia Dasar kecuali pupuk tidak memiliki keterkaitan yang solid dengan bijih nikel karena hanya menggunakan sedikit input,” bebernya. (Shiddiq)