NIKEL.CO.ID – Harga komoditas tambang tengah menghadapi super siklus di mana harganya tengah membubung dan diperkirakan bertahan dalam waktu lama. Salah satu komoditas yang harganya naik adalah nikel.
Naiknya harga nikel membuat investor kembali bergairah mengembangkan proyek hilir atau dalam hal ini pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter).
Hal tersebut disampaikan oleh Sekretaris Jenderal Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) Meidy Katrin Lengkey.
Kepada CNBC Indonesia, Kamis (20/05/2021), dia mengatakan ada beberapa perusahaan yang kembali aktif melakukan kegiatan di sektor hilir, mulai dari proses penetapan lokasi smelter dan perizinan.
“Ada beberapa perusahaan melakukan kegiatan, baik proses penempatan lokasi smelter, perizinan. Kalau pembangunan, ada beberapa perusahaan yang sudah melakukan kegiatan pembangunan pabrik,” kata Meidy.
Semakin meningkatnya investasi di sektor hilir, imbuhnya, maka ke depan diperkirakan akan terjadi lonjakan permintaan bijih nikel.
Dia mengatakan, jumlah perusahaan yang sedang melakukan proses perizinan dan konstruksi sebanyak 10-15 perusahaan.
“Ke depan nikel akan ada over demand karena dengan banyak pabrik, kebutuhan bahan baku meningkat,” ujarnya.
Dia mengatakan, smelter yang ada saat ini hanya menyerap bijih nikel kadar tinggi di atas 1,8%. Dengan banyaknya investasi baru, pihaknya berharap agar smelter baru nanti juga bisa menyerap bijih nikel kadar rendah 1,6%.
“Kita harapkan smelter baru nanti apakah bisa gunakan bijih nikel kadar rendah yang selama ini terbuang. Smelter yang ada saat ini hanya konsumsi bijih nikel di atas 1,8%, smelter baru kita harapkan bisa akomodir 1,6%,” harapnya.
Sebelumnya, Staf Khusus Menteri ESDM Bidang Tata Kelola Mineral dan Batu Bara Irwandy Arif mengatakan, pandemi Covid-19 sejak tahun lalu mengakibatkan sejumlah proyek pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) tertunda.
Tak hanya proyek smelter katoda tembaga yang dibangun PT Freeport Indonesia, puluhan smelter mineral lainnya juga disebutkan tertunda dan terhenti proses pembangunannya akibat pandemi Covid-19 ini.
“Progress pembangunan smelter sedang banyak yang berhenti karena suplai bahan baku dan tenaga kerja juga berhenti karena negara yang punya teknologi ini sedang lockdown,” ungkapnya dalam sebuah diskusi bertema ‘Prospek Sektor Tambang di Tengah Ketidakpastian Ekonomi Global’ secara virtual, Selasa (10/11/2020).
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengatakan, tahun 2021 ini total smelter yang beroperasi ditargetkan sebanyak 23 smelter dari 19 smelter di 2020, atau hanya bertambah empat smelter dari tahun lalu.
“Total realisasi fasilitas pemurnian mineral sampai dengan 2020 sebanyak 19 smelter dan 2021 sebanyak 23 smelter,” ungkapnya saat konferensi pers ‘Capaian Kinerja Sektor ESDM Tahun 2020 Dan Rencana Kerja Tahun 2021’, Kamis (07/01/2021).
Berdasarkan data yang dipaparkannya, smelter baru yang beroperasi pada 2020 hanya sebanyak dua smelter nikel. Dengan demikian, total smelter nikel yang beroperasi hingga 2020 mencapai 13 smelter.
Sementara smelter untuk komoditas lainnya yakni tembaga tetap tidak berubah dari 2019, yakni hanya dua smelter, bauksit dua smelter, besi satu smelter, dan mangan satu smelter. Dengan demikian, pada 2020 terdapat 19 smelter yang telah beroperasi.
Sementara pada 2021, dari total target 23 smelter beroperasi, di antaranya 16 smelter nikel, dua smelter tembaga, dua smelter bauksit, satu smelter besi, satu smelter mangan, dan satu smelter timbal dan seng.
Sampai dengan 2024 mendatang, pemerintah menargetkan sebanyak 53 smelter beroperasi. Artinya, dibutuhkan 34 smelter baru selama empat tahun mendatang.
Dia merinci, jumlah smelter yang ditargetkan beroperasi hingga 2024 tersebut antara lain 23 smelter pada 2021, lalu naik menjadi 28 smelter pada 2022, lalu pada 2023-2024 diperkirakan melesat menjadi 53 smelter.
Pada 2024 smelter yang ditargetkan telah beroperasi yakni empat smelter tembaga, 30 smelter nikel, 11 smelter bauksit, empat smelter besi, dua smelter mangan, serta dua smelter timbal dan seng.
Sumber: CNBC Indonesia