Beranda Berita Nasional ESDM Akan Lakukan Diskusi dengan Para Pengusaha Terkait Rencana Kenaikan Royalti Nikel

ESDM Akan Lakukan Diskusi dengan Para Pengusaha Terkait Rencana Kenaikan Royalti Nikel

480
0
Direktur Jenderal Minerba Kementerian ESDM, Tri Winarno. (Dok. MNI)
Direktur Jenderal Minerba Kementerian ESDM, Tri Winarno. (Dok. MNI)

NIKEL.CO.ID, JAKARTA- Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) akan melakukan diskusi dengan pengusaha nikel guna mambahas tarif royalti mineral dan batu bara (minerba).

Dirjen Minerba Kementerian ESDM, Tri Winarno, mengatakan, pertemuan dengan para pengusaha nikel itu akan berlangsung pada Kamis (17/4/2025) mendatang. 

“Yang jelas kami ada diskusi besok hari Kamis, kira-kira begitu lah,” kata Tri di Kantor Kementerian ESDM, Senin (14/4/2025) malam, dikutip melalui Bisnis Indonesia. 

Hal tersebut menindaklanjuti atas keberatan pengusaha atas penyesuaian tarif royalti nikel. Rencana pemerintah, penyesuaian tarif royalti akan berlaku mulai pekan kedua April ini. 

“Minggu ini mau diskusi gimana cara ini [tetap adil], gitu-gitulah. Apakah ongkosnya kita (sesuaikan), gimana caranya supaya margin mereka (pengusaha) tetap bagus, tapi royalti naik,” jelas Tri. 

Kenaikan tarif royalti minerba akan menyasar batu bara, nikel, tembaga, emas, perak, dan logam timah. Besaran kenaikannya diperkirakan berada dalam kisaran 1% hingga 3% dan akan bersifat fluktuatif, menyesuaikan dengan harga komoditas di pasar. 

https://indonesia-critical-minerals.metal.com/

Kebijakan itu akan diambil oleh pemerintah demi meningkatkan penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Sebelumnya, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menyebut, kebijakan itu akan berlaku pada pekan kedua April 2025. 

Dia mengatakan, revisi peraturan pemerintah (PP) terkait tarif royalti minerba telah rampung. Adapun, revisi PP yang dimaksud adalah PP Nomor 26 Tahun 2022 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. 

Lalu, PP Nomor 15 Tahun 2022 tentang Perlakukan Perpajakan dan/atau PNBP di Bidang Usaha Pertambangan Batubara.

https://cobaltcongressregistration.org/

“Bulan ini sudah berlaku efektif. Minggunya, mungkin minggu kedua sudah berlaku efektif dan sudah tersosialisasikan,” kata Bahlil di Kantor Kementerian ESDM, Rabu (9/4/2025) lalu.

Namun, para pengusaha nikel merasa keberatan dengan rencana tersebut. Mereka pun meminta pemerintah menunda kenaikan tarif royalti nikel. 

Sebelumnya, Sekretaris Umum (Sekum) Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Meidy Katrin Lengkey, mengatakan bahwa para pelaku usaha industri pertambangan merasa keberatan dengan kenaikan tarif royalti untuk sektor komoditas mineral dan batu bara.

“Para pengusaha ini, baik dari penambang maupun smelter juga merasa keberatan karena kondisinya yang begitu banyak kewajiban walaupun Indonesia adalah negara dengan proses penambangan terendah atau min out. Artinya, galiannya itu kita paling murah sedunia,” ujar Meidy dalam tayangan CNBC Indonesia, Selasa (25/3/2025).

https://www.argusmedia.com/en/events/conferences/nickel-indonesia-conference

Namun, menurutnya, jika dibandingkan dengan kewajiban-kewajiban negara lain di dunia terkait royalti dalam kategori penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dan untuk tarif 10% saja kita sudah tertinggi untuk royalti PNBP dibanding dengan negara-negara penghasil nikel lainnya.

“Karena negara-negara lain penghasil nikel royaltinya itu rata-rata 2% sampai 7% atau 9%, sangat jauh. Dan, bahkan ada negara yang royaltinya best profit bukan best venue,” ujarnya.

Dia menjelaskan, tarif 10% saja Indonesia sudah menjadi negara tertinggi yang menempatkan royaltinya tapi kalau ditambah lagi tarif royaltinya menjadi 14% sampai 19%, dimana 14% itu adalah batas minimum untuk harga mineral acuan (HMA) sebesar US$18.000. Namun, kapan HMA mencapai US$18.000 karena dengan kondisi saat ini harga semakin turun.

Meskipun dari pemerintah melalui Kementerian ESDM telah menegaskan bahwa wacana kenaikan tarif royalti pertambangan ini berdasarkan kajian dan evaluasi keuangan pemasukan pemerintah dan perusahaan untuk keseimbangan dan keadilan.

Tetapi, Meidy menuturkan, harus dilihat dari sisi global lebih dulu, karena pasar produk nikel Indonesia itu ada di luar negeri, kecuali Indonesia sudah memiliki produk akhir seperti baterai kendaraan listrik. Hingga saat ini saja Indonesia belum ada produk akhir atau jadi dari nikel.

“Artinya kita masih ekspor juga, dan beberapa perusahaan tahun 2024 juga masih impor bijih nikel dari luar negeri karena ada transisi rencana kerja dan anggaran biaya (RKAB) tiga tahun yang sebelumnya satu tahun dan keterlambatan penerbitan RKAB di tahun 2024, mau tidak mau pabrik harus jalan terus tidak bisa diam walaupun satu jam,” tuturnya.

Ia melanjutkan, kalau para penambang tidak bekerja dalam satu bulan sekalipun, itu tidak menjadi masalah tetapi kalau pabrik smelter tidak bisa,  meski satu jam sekalipun tidak bisa, mereka harus terus beroperasi selama 24 jam.

Selain itu, Meidy menjelaskan, ada dampak yang harus dilihat dalam mempertimbangkan rencana kenaikan tarif royalti sudah tepat atau tidak, yaitu, pertama dari kondisi sisi global terhadap permintaan pasar nikel Indonesia. 

Kedua cost produksi industri tambang bisa di covering dengan negara-negara penghasil nikel yang lain. Ketiga konsistensi Indonesia dalam satu kenyamanan dan keamanan dalam berusaha dan konsistensi aturan.

“Karena beberapa investor juga merasa bagaimana mau berinvestasi di Indonesia kalau masih terjadi inkonsistensi dalam regulasi,” jelasnya.

Meidy menuturkan, seperti wacana kenaikan tarif royalti ini, meskipun bukan inkonsistensi tetapi yang pasti telah memberatkan beban para pelaku industri pertambangan.

“Kalau harga nikel sedang naik signifikan maka kenaikan tarif royalti itu tidak ada masalah sama sekali,” pungkasnya.