

NIKEL.CO.ID, JAKARTA – Dalam 100 hari pertamanya kembali menjabat sebagai Presiden Amerika Serikat, Donald Trump kembali mengguncang tatanan global dengan pendekatan agresif terhadap kebijakan perdagangan internasional. Menurut Co-Founder dan Managing Director Penida Capital Advisors, Edward Gustley, langkah-langkah Trump ini memiliki dampak besar terhadap industri mineral kritis global yang menjadi tulang punggung transisi energi dan teknologi masa depan.
“Trump ingin memperkuat kedaulatan rantai pasokan Amerika Serikat, mendorong negara-negara untuk menjauh dari Tiongkok, dan menciptakan tatanan Dunia Berkembang versi AS,” ujar Gustley dalam acara diskusi panel Fastmarkets, di Hotel Dharmawangsa, Jakarta Selatan, Kamis (10/4/2025).
Ia menilai strategi Trump ini sebagai bagian dari perang dagang global jilid baru yang menempatkan industri mineral kritis sebagai salah satu medan tempurnya.
Dia juga menyoroti situasi makroekonomi dunia yang kompleks yang Bom Waktu Global dalam sektor keuangan dan energi. Produk Domestik Bruto (PDB) global saat ini mencapai US$115 triliun, namun di sisi lain, total utang dan liabilitas global melonjak hingga US$2.300 triliun, termasuk utang global sebesar US$300 triliun, derivatif senilai US$1.500 triliun, serta liabilitas tidak didanai sekitar US$500 triliun.

“Lebih dari US$6 triliun utang pemerintah AS akan jatuh tempo dalam 12 bulan ke depan, dan harus dibayarkan dengan suku bunga dua kali lebih tinggi dari sebelumnya. Ini bukan hanya tantangan fiskal, tapi juga tekanan pada sistem keuangan global,” tegasnya.
Selain itu, peta kekuasaan global di mineral kritis dan energi baru perlahan mulai berubah. Dominasi Tiongkok dalam rantai pasokan baterai dan mobil listrik tetap tidak tertandingi. Pada 2024, Tiongkok memiliki kapasitas penyimpanan baterai sebesar 215,5 GWh, yang diperkirakan melonjak menjadi 721,2 GWh pada 2027. Sementara itu, Amerika menyusul di posisi kedua dengan proyeksi kapasitas sebesar 244,6 GWh pada 2027.
Di sisi produksi mobil, Tiongkok juga memimpin dengan porsi 32,3% dari total produksi global yang mencapai 93,5 juta unit pada 2023. Diikuti AS (11,3%), Jepang (9,6%), dan India (6,3%).

Adapun dari sisi nilai sumber daya alam, Rusia menjadi negara dengan nilai kekayaan tertinggi mencapai US$75 triliun, disusul Amerika Serikat (US$45 triliun), Arab Saudi (US$34 triliun), dan Kanada (US$33 triliun). Sumber daya ini meliputi batu bara, gas alam, minyak, logam tanah jarang, dan lain-lain.
Dominasi Smelter Nikel Indonesia dan Ketergantungan Dunia
Indonesia menjadi aktor kunci dalam pasar nikel dunia. Harga nikel yang pada 2022 sempat mencapai US$49.000/ton kini anjlok ke kisaran US$15.000/ton, terutama akibat lonjakan produksi dari Indonesia. Pangsa Indonesia dalam pasar nikel olahan dunia terus naik: dari 29% pada 2020 menjadi 61% pada 2024.

“Smelter Indonesia saat ini menyumbang lebih dari setengah produksi nikel global. Ini memperkuat posisi Indonesia di rantai pasok kendaraan listrik dan teknologi energi baru,” jelasnya.
Gustley memaparkan terkait tantangan global dan solusi regional dengan memperingatkan bahwa industri mineral kritis menghadapi tantangan serius: mulai dari ketegangan geopolitik, inflasi global, gangguan rantai pasok, hingga isu lingkungan dan sosial yang semakin mendapat perhatian.
Untuk meminimalkan dampak dari kebijakan proteksionis Trump, ia merekomendasikan agar negara-negara ASEAN memperdalam integrasi ekonomi regional melalui kerja sama seperti RCEP (Regional Comprehensive Economic Partnership) dan CPTPP (Comprehensive and Progressive Agreement for Trans-Pacific Partnership).

“Integrasi yang lebih besar di Asia Pasifik menjadi kunci untuk menjaga stabilitas pasokan dan menciptakan posisi tawar yang lebih kuat terhadap kekuatan besar seperti AS dan Tiongkok,” pungkasnya. (Shiddiq)