
NIKEL.CO.OD, JAKARTA – Industri pertambangan Indonesia dan dunia tengah menghadapi tantangan besar dalam menerapkan standar ESG (Environmental, Social, and Governance) yang semakin ketat.
Hal ini seperti disampaikan oleh Dewan Pakar Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi), Prof. Dr. Ir. Rudi Sayoga Gautama yang mengatakan bahwa meskipun ada aturan dan peraturan yang jelas mengenai pengelolaan lingkungan, seperti reklamasi dan pascatambang, realitasnya, pelaksanaan standar tersebut masih memerlukan perhatian lebih.
“Dalam konteks lingkungan, kita memang harus lebih serius dalam menerapkan ESG, terutama di Indonesia yang masih berkembang. Banyak orang berpikir bahwa tambang di negara maju lebih ramah lingkungan, padahal beberapa negara besar seperti Amerika Serikat dan Kanada juga memiliki banyak proyek tambang,” jelas Prof. Rudi dalam acara Mining Workshop for Journalis, di hotel Bidakara, Jakarta, Kamis (27/2/2025), yang mengangkat tema mengenai standar ESG global dan penerapannya di Indonesia.
Data terbaru menunjukkan bahwa proyek tambang global paling banyak berada di China dengan 134 juta ton dan 1.400 proyek, diikuti oleh Kanada dengan 36 juta ton dan 396 proyek. Indonesia tercatat memiliki 405 proyek tambang dengan total 8,1 juta ton. Meski Indonesia memiliki jumlah proyek yang banyak, menurutnya tantangan utama adalah memastikan bahwa setiap kegiatan pertambangan dapat memenuhi standar ESG yang memadai.
“Jangan berpikir bahwa hanya perusahaan besar yang harus mematuhi ESG. Perusahaan kecil pun seharusnya dapat menerapkannya dengan proporsional. Dampak dari tambang kecil tidak kalah besar dengan yang besar jika tidak dikelola dengan baik,” lanjutnya.
Di sisi lain, meski regulasi terkait reklamasi dan pascatambang di Indonesia sudah ada sejak 1991 dan 2008, dia mengingatkan bahwa implementasinya memerlukan waktu yang tidak singkat. Reklamasi lahan bekas tambang, misalnya, tidak bisa selesai dalam hitungan bulan, melainkan membutuhkan proses panjang.
“Reklamasi itu bukan proses yang instan, butuh waktu bertahun-tahun agar lahan bekas tambang kembali berfungsi dengan baik. Oleh karena itu, perlu adanya komitmen jangka panjang dari semua pihak,” tegasnya.
Dengan adanya peraturan yang ketat dan komitmen dari pelaku industri, diharapkan standar ESG dapat diimplementasikan dengan lebih baik di Indonesia. Hal ini bukan hanya untuk menjaga lingkungan, tetapi juga untuk memastikan kesejahteraan sosial dan tata kelola yang baik dalam jangka panjang. (Shiddiq)