
NIKEL.CO.ID, TANGERANG — Saat ini Indonesia memimpin perdagangan komoditas nikel di pasar global. Karenanya, penting bagi kita memastikan keberlanjutan produksi dan potensi nikel Indonesia.
Demikian diungkapkan Sekretaris Umum (Sekum) Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Meidy Katrin Lengkey, ketika mengupas tuntas sejumlah peluang dan tantangan yang dihadapi sektor nikel Indonesia dalam acara “Outlook Bappbeti 2025”, di Hotel Grand Zuri, Tangerang, Kamis (23/2/2025).
Salah satu masalah utama yang dihadapi di sektor ini, sambungnya, adalah kesulitan untuk menghitung revenue dan nilai komoditas, mengingat banyak pihak yang tidak memiliki kewajiban untuk melaporkan atau menghitung nilai dan biaya produksi secara transparan.
“Bagaimana kita bisa menghitung revenue atau nilai kalau tidak ada beban? Bagaimana kita memastikan data tersebut valid, sementara tidak ada kewajiban bagi pihak terkait untuk menghitung nilai atau PR-nya?” tanya Meidy.
Namun, ia menegaskan, APNI terus bekerja keras untuk memperbarui data dan informasi yang relevan, bekerja sama dengan lembaga internasional yang mendukung sektor nikel Indonesia.
“Kami selalu update karena kami bekerja sama dengan lembaga internasional yang sangat mendukung apa yang menjadi tujuan kita, bagaimana Indonesia bisa memperdagangkan nikel sebagai komoditas bursa berjangka,” lanjutnya.
Dalam kesempatan tersebut, ia juga memaparkan perkembangan pabrik-pabrik pengolahan nikel di Indonesia. Indonesia kini sedang membangun sekitar 40 pabrik baru, yang akan menambah jumlah pabrik pengolahan nikel di Indonesia menjadi 95 unit dalam waktu dua tahun mendatang.
“Keberhasilan kita, saya belum tambah ada pabrik Molan 490 HPAL dan yang lain sedang dalam proses konstruksi, ada sekitar 40 pabrik. Artinya nanti akan terbangun 95 pabrik olahan nikel yang akan selesai tahun depan atau dua tahun lagi,” ungkapnya lagi.
Akan tetapi, ia mengingatkan, Indonesia harus cermat dalam mengelola cadangan nikel yang terbatas, yang saat ini hanya sekitar 5,3 miliar ton.
“Kalau per tahun yang sudah eksis 49 smelter, konsumsi bijih nikel 300 juta ton, berapa tahun lagi kita akan selesai? Itu yang harus kita cermati,” tambahnya.
Oleh sebab itu, jika Indonesia tidak segera memastikan keberlanjutan produksi dan pengolahan nikel, dalam beberapa tahun ke depan, banyak pabrik yang mungkin akan berhenti beroperasi karena cadangan yang semakin menipis.
“Jangan sampai pabrik berhenti dua sampai lima tahun lagi, itu sangat merugikan,” tegasnya.
Salah satu upaya yang dianggap penting olehnya adalah membangun sistem perdagangan nikel yang berkelanjutan di Indonesia, melalui bursa berjangka. Ia juga mengusulkan pembentukan Indonesia Metal Exchange (IME) untuk mengelola perdagangan nikel dan komoditas lainnya, dengan Indonesia sebagai pemain utama.
“Mengapa kita tidak mampu untuk membuat IME? Kita yang punya fisik komoditas barangnya,” tuturnya.
Negara kita, sambungnya, berperan penting dalam menentukan harga nikel di pasar global. Indonesia sudah punya power untuk menentukan harga ini. Dari total produksi dunia, Indonesia menguasai pasar nikel. Kita bisa menggerakkan harga dengan kebijakan dan keputusan yang kita buat.
Ke depannya, APNI berkomitmen untuk terus mendukung Indonesia dalam memimpin perdagangan nikel global dan memastikan keberlanjutan industri ini dengan fokus pada pengelolaan cadangan yang efisien dan pembangunan sistem perdagangan yang lebih kuat. (Shiddiq)