Beranda Asosiasi Pertambangan Sejumlah Usulan Revisi UU Minerba Berpotensi Rugikan Industri Pertambangan

Sejumlah Usulan Revisi UU Minerba Berpotensi Rugikan Industri Pertambangan

1531
0
RDPU Baleg DPR RI dengan APNI, NU dan Muhammadiyah di Gedung Nusantara l, Rabu (22/1/2025). Dok. MNI

NIKEL.CO.ID, JAKARTA — Sekretaris Umum (Sekum) Asosiasi Perusahaan Penambang Nikel Indonesia (APNI), Meidy Katrin Lengkey, memberikan masukan terhadap revisi RUU Minerba yang saat ini tengah dibahas. Menurutnya, sejumlah ketentuan yang diusulkan dalam revisi tersebut berpotensi merugikan industri tambang, terutama terkait dengan penerapan regulasi untuk usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), ormas keagamaan, dan perguruan tinggi.

“Kalau kita ngomongin Amdal, masih banyak perusahaan yang bermasalah meskipun luas lahannya di bawah 200 hektare. Sekarang, kita malah hendak memberikan UMKM izin untuk mengelola tambang seluas 2.500 hektare, yang menurut saya sangat besar,” ujar Meidy saat wawancara bersama wartawan baru-baru ini.

Menurut dia, langkah tersebut akan membuat pengawasan menjadi lebih sulit, apalagi bagi perusahaan kecil yang belum tentu memiliki sumber daya atau kemampuan untuk menjalankan proyek tambang dengan skala besar dan memperhatikan dampak lingkungan yang timbul.

“Ini bisa jadi masalah besar. Bayangkan kalau perusahaan besar saja banyak yang bermasalah, apalagi UMKM,” tambahnya.

Dalam kesempatan tersebut, perempuan yang getol mendorong penerapan good mining practice (GM) juga menyoroti potensi dampak negatif bagi industri tambang Indonesia jika kondisi pasar global terus bergejolak, terutama terkait dengan harga nikel yang dipengaruhi oleh kebijakan luar negeri. Contohnya, kebijakan terbaru dari Amerika Serikat yang akan mencabut mandat wajib kendaraan listrik, menurut dia, tentu akan mempengaruhi permintaan nikel di pasar global.

“Dunia lagi goyang, harga nikel turun, smelter beberapa ada yang shut-down karena harus menerapkan green energy, nggak boleh pakai pembangkit listrik berbasis batu bara. Kalau pasar goyang dan harga nikel turun, itu bisa makin menambah tekanan pada biaya produksi. Sekarang biaya produksi sudah naik, baik dari CPI 12%, biaya BBM B40, maupun kebijakan DHE ekspor 100%,” jelasnya.

Terkait kebijakan Devisa Hasil Ekspor (DHE), ia mengkritik ketentuan yang mewajibkan 100% hasil ekspor untuk diserahkan dalam bentuk devisa.

“Kita harus pikirkan kebutuhan kita, apakah benar 100% ekspor harus dikendalikan seperti itu?” tanyanya.

Sekum APNI itu juga menyoroti pentingnya smelter dalam rantai produksi tambang, yang memiliki kewajiban lebih banyak namun masih banyak yang belum mendapatkan perhatian yang cukup.

“Yang enak itu yang punya smelter, tapi smelter punya banyak kewajiban, baik dari sisi investasi maupun pengelolaan lingkungan yang harus dipenuhi,” ujarnya.

Sementara itu, industri tambang di Indonesia terus menghadapi tantangan berat, baik dari sisi regulasi dalam negeri maupun ketidakpastian pasar global yang mengharuskan pelaku industri untuk beradaptasi cepat. Dengan adanya revisi RUU Minerba yang masih dalam pembahasan, diharapkan ada keseimbangan antara kemajuan sektor tambang dan perlindungan lingkungan serta kepentingan ekonomi nasional.

Pemerintah diharapkan untuk lebih mendengar masukan dari berbagai pihak terkait agar kebijakan yang dihasilkan benar-benar dapat mengakomodasi kebutuhan dan tantangan industri, tanpa mengabaikan aspek keberlanjutan dan dampak jangka panjang bagi masyarakat dan lingkungan. (Shiddiq/Lili)