NIKEL.CO.ID, JAKARTA – Indonesia, sebagai salah satu negara dengan cadangan nikel terbesar di dunia, kembali mencatatkan prestasi signifikan dalam industri nikel global. Pada tahun 2023, total produksi nikel Indonesia—termasuk barang jadi dan barang setengah jadi – mencapai 1,9 juta ton, yang setara dengan 57% dari total produksi dunia.
Hal ini menunjukkan dominasi Indonesia dalam memenuhi permintaan global akan nikel, yang banyak digunakan dalam industri baterai kendaraan listrik dan produk elektronik.
Sekretaris Umum Asosiasi Penambang Nikel Indonesia, Meidy Katrin Lengkey, dalam pemaparan materi di BAPPEBTI beberapa waktu lalu, menjelaskan bahwa selama periode 2020 hingga 2024, Indonesia berencana menambah 1,5 juta ton pasokan nikel baru.
“Sementara itu, produksi dunia diperkirakan akan menurun sekitar 450 ribu ton, menjadikan Indonesia sebagai pemasok utama pasar nikel global,” ujar Meidy, ditulis, Jumat (10/1/2025).
Namun, meski Indonesia menjadi pemain utama dalam produksi nikel, tantangan dalam hal cadangan dan kebutuhan bijih nikel tetap menjadi perhatian. Dia menyampaikan bahwa meskipun ekspor nikel Indonesia beralih dari bijih mentah ke produk bernilai tambah lebih tinggi seperti NPI (Nickel Pig Iron) dan MHP (Mixed Hydroxide Precipitate), pasokan bijih nikel domestik mulai mengalami pengetatan.
Pada tahun 2024, Indonesia diperkirakan membutuhkan bijih nikel sebanyak 271,88 juta ton untuk memenuhi kebutuhan produksi smelter dan industri turunannya.
“Proyeksi deplesi cadangan nikel di Indonesia, yang tercermin dari tingkat produksi pada tahun 2024 hingga 2026, menunjukkan kebutuhan yang terus meningkat sementara cadangan yang ada terus berkurang,” jelasnya.
Cadangan nikel Indonesia terdistribusi di berbagai wilayah, dengan Sulawesi Tenggara memiliki cadangan terbesar, mencapai 1,688 juta ton, diikuti Sulawesi Tengah (805 juta ton), Papua Barat (80 juta ton), Maluku Utara (1,868 juta ton), dan Sulawesi Selatan (602 juta ton).
Meski demikian, pengetatan persetujuan RKAB IUP OP (Rencana Kerja dan Anggaran Biaya Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi) di beberapa daerah menjadi salah satu faktor yang mengurangi pasokan bijih nikel domestik.
Di tengah ketatnya pasokan dalam negeri, Indonesia mulai mengimpor bijih nikel, terutama dari Filipina, yang sebelumnya lebih banyak diekspor ke Tiongkok.
“Pada tahun 2024, ekspor bijih nikel Filipina ke Indonesia meningkat signifikan, mencapai 20% dari total ekspor mereka, yang sebelumnya hanya 1% pada tahun 2023,” kata Meidy.
Implikasi dari pengetatan ini juga terlihat pada kawasan-kawasan industri utama nikel Indonesia, seperti Morowali, Kolondale, dan Kendari, yang kini mulai mengandalkan pasokan bijih nikel dari luar negeri, terutama untuk keperluan blending (pencampuran).
Tantangan lainnya adalah kebutuhan akan fasilitas pemurnian nikel (smelter) yang terus berkembang. Indonesia kini memiliki total 95 pabrik smelter, dengan 49 di antaranya sudah beroperasi. Smelter ini membutuhkan bijih nikel dalam jumlah besar, yakni sekitar 390 juta ton per tahun.
“Produksi smelter pirometalurgi dan hidrometalurgi yang sedang berkembang menunjukkan besarnya kebutuhan bijih nikel untuk mendukung operasional mereka,” tambah Meidy.
Ke depan, Indonesia harus menghadapi kenyataan bahwa meski memiliki cadangan nikel yang cukup besar, tantangan untuk mempertahankan pasokan dan memastikan keberlanjutan produksi menjadi kunci bagi industri ini. Proyeksi kebutuhan bijih nikel yang terus meningkat, dengan cadangan yang terbatas, menuntut adanya kebijakan yang tepat untuk mengelola sumber daya alam ini dengan bijak.
Dengan mempertimbangkan berbagai faktor tersebut, Meidy menegaskan bahwa Indonesia perlu terus berinovasi dan meningkatkan kapasitas industri hilir nikel, agar tidak hanya mengandalkan ekspor bijih mentah, tetapi juga menghasilkan produk bernilai tambah yang lebih tinggi, seperti baterai dan material terkait kendaraan listrik. Ini akan menjadi strategi kunci untuk memastikan bahwa Indonesia tetap memimpin di pasar nikel global dalam jangka panjang. (Shiddiq)