
NIKEL.CO.ID, JAKARTA – Indonesia, sebagai negara dengan cadangan nikel terbesar di dunia, menghadapi berbagai tantangan dalam industri nikel pada 2025 ini. Ketua Badan Kejuruan Pertambangan Perhimpunan Insinyur Indonesia (PII), Rizal Kasli, menjabarkan pandangannya mengenai dinamika pasar nikel yang semakin menantang, seiring dengan tren mebnajirnya pasokan (oversupply) dan penurunan harga yang signifikan.
Menurut Rizal, tantangan utama di sektor nikel pada 2025 adalah oversupply, yang disebabkan oleh pembangunan pabrik nikel atau smelter yang terus berlanjut.
“Harga nikel turun karena oversupply. Salah satunya disebabkan oleh penurunan permintaan dari negara-negara besar pengimpor, seperti China, yang mengalami perlambatan ekonomi,” ujarnya ketika diwawancarai oleh Nikel.co.id, di Jakarta, Kamis (9/1/2024).
Ia berpendapat, meskipun banyak smelter yang sudah beroperasi, proyek-proyek baru yang sedang berjalan tidak dapat dihentikan, meski kita bisa menahan smelter yang masih dalam tahap perencanaan. Oleh sebab itu, salah satu langkah yang harus diambil pemerintah adalah menahan proyek smelter baru agar produk turunan nikel tidak semakin membanjiri pasar. Namun, bagi smelter yang sudah beroperasi, kuota bijih nikel yang diperlukan untuk memproduksi nikel harus dipenuhi, agar mereka tidak mengalami kerugian.
“Pabrik smelter memiliki kapasitas produksi yang harus dipenuhi. Misalnya, jika kapasitas pabrik adalah 1,5 juta ton, maka produksi harus mencapai angka tersebut, jika tidak, perusahaan akan rugi. Kerugian perusahaan smelter bisa berdampak pada pendapatan negara, karena pajak dan royalti akan menurun,” ujarnya.
Dia juga memberikan tanggapan terhadap kebijakan pemerintah yang mengurangi kuota bijih nikel untuk konsumsi smelter, yang bertujuan untuk mengontrol oversupply dan menjaga harga pasar. Menurutnya, kebijakan ini kurang realistis, terutama bagi smelter yang sudah beroperasi.
“Pemerintah mungkin ingin mengontrol harga untuk meningkatkan pendapatan negara, tapi bagi smelter yang sudah beroperasi, pengurangan kuota akan menyebabkan kerugian. Jika pabrik smelter tidak bisa beroperasi dengan kapasitas penuh, maka perusahaan akan merugi, dan itu juga merugikan negara,” jelasnya.
Namun, ia menambahkan bahwa pemerintah bisa menekan membanjirnya pasokan dengan mengevaluasi smelter yang tidak memenuhi standar keselamatan dan lingkungan.
“Jika smelter tidak memenuhi standar keselamatan atau lingkungan, maka harus dihentikan operasinya, dan itu bisa mengurangi jumlah produksi nikel yang beredar di pasar,” sarannya.
Mantan Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) itu pun menekankan pentingnya eksplorasi untuk menemukan sumber daya nikel baru, guna menjaga keberlanjutan pasokan nikel di masa depan.
“Eksplorasi harus dipercepat dengan lelang yang lebih cepat. Proses eksplorasi ini bisa memakan waktu antara 5 hingga 8 tahun, tergantung luas wilayahnya,” jelasnya.
Selain itu, dia mendorong perusahaan untuk mengonversi sumber daya menjadi cadangan dan meningkatkan efisiensi dalam penambangan, seperti meningkatkan recovery dan menurunkan kadar ore yang dikonsumsi oleh pabrik.
“Konservasi sumber daya juga sangat penting. Kalau recovery kita rendah, maka itu harus ditingkatkan, sehingga cadangan nikel bisa lebih hemat dan berkelanjutan,” tambahnya.
Di tengah oversupply, ia mengusulkan agar Indonesia tidak alergi terhadap impor bijih nikel dari negara lain, seperti Filipina, Australia, atau Kaledonia Baru.
“Kita jangan alergi impor nikel, kalau harga masuk akal, mengapa tidak? Ini untuk menghemat cadangan kita,” ujarnya.
Dia menambahkan bahwa walaupun Indonesia memiliki cadangan nikel terbesar di dunia, cadangan tersebut bisa habis dalam waktu 9 hingga 13 tahun jika dikelola dengan cara yang tidak bijaksana.
“Chairman IMI, Prof. Irwandy Arif, mengatakan bahwa cadangan nikel Indonesia hanya akan bertahan 10 tahun lagi. Saya sendiri menghitung bahwa dalam 9 tahun, cadangan kita bisa habis. Itu sangat tergantung pada kebutuhan nikel per tahun dan bagaimana kita mengelolanya,” katanya.
Meski menghadapi berbagai tantangan, ia tetap optimistis dengan prospek jangka panjang industri nikel, terutama dalam sektor energi bersih seperti kendaraan listrik.
“Nikel sangat dibutuhkan untuk baterai kendaraan listrik, dan ini adalah peluang besar ke depannya. Kebutuhan nikel akan terus meningkat, meskipun ada pesaing seperti baterai LFP yang tidak menggunakan nikel,” ujarnya.
Namun, Rizal menegaskan bahwa Indonesia harus bijaksana dalam mengelola cadangan nikel, agar tidak mengalami situasi yang mirip dengan krisis energi yang kini dihadapi negara sebagai net importir migas.
“Kita harus memastikan keberlanjutan pasokan nikel untuk jangka panjang. Jangan sampai kita menghabiskan cadangan nikel dengan cara yang terburu-buru. Kita ingin Indonesia tetap menjadi pemimpin dalam industri nikel global, namun kita juga harus menjaga keberlanjutan sumber daya alam kita,” tutupnya.
Dengan tantangan oversupply, kebijakan pengurangan kuota bijih nikel, dan pentingnya eksplorasi serta pengelolaan sumber daya yang bijak, masa depan nikel Indonesia tetap akan dipengaruhi oleh keseimbangan antara pasokan, permintaan, dan kebijakan pemerintah yang cermat. (Shiddiq)