NIKEL.CO.ID, JAKARTA — Chairman Indonesian Mining Institute (IMI), Prof. Irwandy Arif, menegaskan bahwa total cadangan nikel Indonesia 5 miliar ton hanya bertahan untuk 10 tahun.
Saat ini jumlah smelter yang beroperasi untuk RKEF 49 smelter dan HPAL 6 smelter, sedangkan dalam tahap kontruksi 36 smelter, yang membutuhkan sekitar 185 juta ton bijih nikel jika sudah beroperasi.
“Jadi, kalau 300 juta ton (kebutuhan bijih nikel saat ini) ditambah 185 juta ton, maka sudah hampir 500 juta ton (485 juta). Cadangan kita, nikel saprolit ditambah limonit, hanya 5 miliar ton, baik untuk besi baja maupun baterai. Jadi, cadangan bijih nikel kita hanya untuk 10 tahun. Maka, kita harus menambah cadangan dulu dengan eksplorasi untuk menemukan cadangan baru,” kata Prof. Irwandy dalam tayangan “Closing Bell” CNBC Indonesia, Jumat (3/1/2025).
Guru besar Institut teknologi Bandung (ITB) itu menegaskan, keseimbangan antara supply dan demand, baik di Indonesia maupun dunia, dapat terjadi apabila ada keinginan kuat dari pemerintah dan industri secara bersama-sama menerapkan good mining practice (GMP).
Pertama, intinya harus mengimplementasikan prinsip-prinsi enviroment, social, dan governance (ESG) dengan baik di pertambangan. Tahap keduanya, pengaturan produksi besi baja tahan karat dan baterai yang masih terbuka lebar.
“Ada satu lagi yang harus diupayakan pemerintah, jalur ketiga dari hilirisasi nikel, yakni bagaimana menciptakan logam murni dari nikel yang harganya paling mahal dari semuanya. Logam murni ini digunakan untuk industri pesawat terbang dan lainnya. Itu yang kita belum punya,” ujarnya.
Begitu pula untuk jalur ketiga ini, ia menambahkan, adalah paduan logam. Pemerintah bersama pelaku industri harus merintis ke arah besi baja, baterai, serta ke arah logam murni dan logam paduan untuk industri-industri yang canggih.
Apakah kita mampu? Ia mengatakan, bila melihat sejarah kita, selama ditempuh dengan sungguh-sungguh oleh ppara insinyur dan industriawan maka biasanya mampu dan berhasil.
“Persoalannya, bisa tidak pemerintah mendorong ke arah sana?” tanyanya.
Ia tak menampik hal itu membutuhkan investasi baru, yang merupakan sebuah risiko kalau kita mau memajukan industrialisasi nikel.
Industri Nikel Optimis
Mantan Staf Khusus Menteri ESDM ini tetap optimistis pada tahun 2025 industri Indonesia akan positif. Karena, Indonesia mempunyai komoditas-komoditas andalan, seperti emas, perak, nikel, dan timah. Ia mengingatkan bahwa kandungan yang ada pada bijih nikel itu masih terdapat mineral kobalt yang belum diperhitungkan ketika penjualan bijih nikel selama ini.
“Bijih nikel dijual hanya ke dalam negeri tapi sudah ada kandungan kobalt yang sebenarnya juga harus kita masukkan dalam perhitungan perdagangan,” paparnya.
Ia berharap, pada 2025 ini harga nikel akan berubah ke arah positif, dengan catatan tidak terjadi perang bergejolak di dunia, sehingga dunia industri tumbuh dengan baik karena dunia masih membutuhkan besi baja tahan karat.
Kendaraan listrik atau electric vehicle (EV), sambungnya, juga sedang berkembang saat ini. Di kota-kota, seperti di Jakarta, sudah banyak mobil dan motor listrik lalu lalang di jalan. Diperkirakan sampai 2050 ada 205 juta sepeda motor listrik dan 38 juta mobil listrik. Kalau ini terjadi secara gradual, maka akan menumbuhkan industri pertambangan, bukan hanya nikel, tapi juga tembaga dan alumunium yang merupakan komponen dari kendaraan listrik.
“Jadi, ke depan, selama kita memperhatikan hal-hal seperti itu kita harus optimistis dengan peraturan yang konsisten dari pemerintah mendorong kemajuan hilirisasi ke arah yang lebih hulu. Maka, kita tetap optimistis pertambangan kita sampai benar-benar ke hulu itu akan menghasilkan sesuatu yang optimal buat negara kita,” tuturnya memungkasi. (Shiddiq)