
NIKEL.CO.ID, JAKARTA — Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) menegaskan pentingnya pembentukan bursa komoditas nikel di Bursa Berjangka Indonesia dalam upaya menciptakan referensi harga yang lebih stabil dan transparan.
Pernyataan itu disampaikan Sekretaris Umum APNI, Meidy Katrin Lengkey, dalam “Konsinyering Analisis Potensi Komoditas Nikel sebagai Subjek Kontrak Berjangka untuk dapat Diperdagangkan di Bursa Berjangka” yang diselenggarakan Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) Kementerian Perdagangan RI.
Meidy mengungkapkan kekhawatirannya terkait kontrol harga nikel yang selama ini dikuasai oleh negara-negara luar meskipun Indonesia memiliki cadangan nikel terbesar di dunia.
“Kami sangat prihatin, kita yang memiliki barang, tetapi pihak lain yang mengontrol. Kami sering diundang ke berbagai negara, bahkan oleh beberapa bursa, tetapi kami merasa perlu ada perubahan di Indonesia,” katanya pada diskusi yang berlangsung di Hotel Merlyn Park, Jakarta, Rabu (18/12/2024).
Menurutnya, meskipun Indonesia memiliki data transaksi nikel yang sangat valid dan terperinci sejak 2020, referensi harga yang ada saat ini masih sangat dipengaruhi faktor eksternal. APNI telah bekerja sama dengan sejumlah lembaga internasional, seperti SMM, Transmarket, Ferroalloy, dan CRU Ferroalloys, untuk memperoleh data yang lebih baik tentang harga dan volume transaksi nikel global.
Salah satu tujuan utama pembentukan kontrak berjangka nikel di bursa berjangka adalah untuk mengurangi ketergantungan pada harga yang dikendalikan oleh pasar luar negeri, serta memberikan kendali lebih besar kepada pemerintah Indonesia atas harga komoditas yang sangat strategis ini.
“Dengan adanya kontrak berjangka yang terintegrasi dengan bursa di Indonesia, kita dapat memiliki kontrol lebih besar terhadap pasar nikel. Ini juga akan membantu mengurangi ketergantungan pada harga pasar luar,” ujarnya.
Selain itu, ia juga mengangkat isu illegal mining yang masih marak terjadi di Indonesia, yang berdampak pada kerugian negara. Menurutnya, perlu adanya sistem yang lebih kuat untuk mengatasi aktivitas penambangan ilegal, yang tidak hanya merugikan ekonomi negara tetapi juga menurunkan kualitas dan keberlanjutan industri nikel Indonesia.
“Kami juga berupaya membersihkan kegiatan ilegal di lapangan dengan sistem yang lebih terstruktur. Dengan adanya pengawasan yang lebih ketat, kami yakin kita bisa meminimalkan kerugian yang ditimbulkan oleh aktivitas ilegal ini,” ujarnya.
Selain masalah pertambangan ilegal, dia juga menyampaikan kebutuhan untuk revisi Harga Patokan Mineral (HPM) dan penambahan harga kobalt yang saat ini belum tercatat dengan baik. Kobalt merupakan bahan tambang yang memiliki potensi royalti yang sangat besar bagi negara dan perlu dimasukkan dalam revisi HPM.
APNI juga memberikan masukan terkait pengelolaan nikel kelas 2, yang sudah berlebihan produksinya. Wadah para penambang nikel di Indonesia itu berharap pabrik-pabrik hilirisasi lebih fokus pada pengolahan nikel kelas 1 dan produk turunannya, seperti baterai nikel, untuk meningkatkan nilai tambah dan mendongkrak posisi Indonesia di pasar global.
Meidy menutup pemaparannya dengan menekankan pentingnya kontrol harga yang lebih besar di Indonesia untuk meningkatkan pendapatan negara dan mengurangi kerugian yang ditimbulkan oleh perdagangan nikel yang tidak terkendali.
“Dengan bursa yang mengakomodir transaksi nikel, kita dapat memastikan bahwa keuntungan dari industri ini tetap berada di dalam negeri. Ini adalah langkah penting bagi keberlanjutan sektor pertambangan dan hilirisasi nikel di Indonesia,” tegasnya.
Diskusi ini dihadiri oleh sejumlah pejabat pemerintah, pelaku industri, serta perwakilan dari berbagai bursa berjangka internasional yang memberikan pandangan dan masukan untuk memperkuat posisi Indonesia sebagai negara penghasil nikel terbesar di dunia. (Shiddiq/Lili)