Beranda Asosiasi Pertambangan APNI Tekankan Perlunya Moratorium untuk Pengolahan Nikel, Fokus pada Pengelolaan Cadangan dan...

APNI Tekankan Perlunya Moratorium untuk Pengolahan Nikel, Fokus pada Pengelolaan Cadangan dan Lingkungan

2273
0
Sekum APNI Meidy Katrin Lengkey acara FGD Minerba bersama ITB, Jumat (13/12/2024)

NIKEL.CO.ID, JAKARTA – Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) merasakan kekhawatirannya terkait perkembangan fasilitas pengolahan nikel di Indonesia.

Hal ini disampaikan oleh Sekretaris Umum APNI, Meidy Katrin Lengkey, yang mengatakan, meskipun ada lonjakan jumlah fasilitas pengolahan nikel dalam beberapa tahun terakhir, pengelolaan cadangan bahan baku dan dampak lingkungan dari industri pengolahan nikel perlu mendapat perhatian serius.

Ahli Tambang Madya Direktorat Jenderal Minerba Kementerian ESDM, Toto Widianto, memberikan pertanyaan kepada APNI mengenai hal tersebut,mengenai jumlah fasilitas pengolahan nikel yang ada sudah memadai untuk memenuhi kebutuhan industri atau justru sudah berlebihan.

“Dari sisi investasi dan kebutuhan bahan baku untuk pabrik-pabrik ini, bagaimana APNI melihat kondisi ini?” tanya Toto, merujuk pada kapasitas fasilitas yang terus berkembang dalam acara FGD Ditjen Minerba bekerjasama dengan ITB, Jumat (13/12/2024).

Meidy mengungkapkan bahwa dua tahun lalu, pada tahun 2022, APNI sudah mengajukan moratorium untuk menghentikan pembangunan fasilitas pengolahan nikel, terutama yang menggunakan bahan baku saprolit dengan kadar nikel tinggi.

“Data kami menunjukkan bahwa total kapasitas pabrik pengolahan nikel bisa mencapai 600 hingga 700 juta ton pada tahun ini, meskipun kebutuhan untuk 2024 hanya sekitar 260 juta ton,” jawabnya dengan serius.

“Namun, banyak keterlambatan yang terjadi pada awal tahun, sehingga banyak pabrik yang terpaksa melanjutkan operasinya meski ada kekurangan bahan baku,” sambungnya.

APNI juga telah mengusulkan agar pemerintah lebih fokus pada dukungan terhadap pabrik-pabrik yang sudah ada, sambil menghindari pembangunan pabrik baru yang berpotensi menyebabkan kelebihan kapasitas.

“Kami khawatir jika pabrik-pabrik baru terus bermunculan, pasokan biji nikel akan terkuras, dan pabrik yang ada akan kesulitan memenuhi kebutuhan bahan baku,” tambahnya.

Selain itu, Meidy menyoroti pentingnya pengelolaan lingkungan dalam industri pertambangan nikel. Ia menyebutkan bahwa beberapa daerah, seperti Pomala, telah mengalami dampak buruk dari polusi udara yang disebabkan oleh proses pengolahan nikel.

“Kami sedang bekerja sama dengan rumah sakit untuk melakukan pemeriksaan kepada masyarakat sekitar tambang, karena beberapa desa mengalami pencemaran yang sangat parah,” jelasnya.

Dalam konteks teknologi, APNI mendukung penggunaan teknologi baru yang lebih ramah lingkungan dan efisien. Dia menyebutkan teknologi Oxygen and Recharge Blast Blown Furnace (OSBF) yang sedang dikembangkan oleh beberapa perusahaan, termasuk Huayo, yang diprediksi dapat mengolah nikel kadar rendah dengan biaya lebih murah dan konsumsi energi lebih efisien.

“Kami sudah mengunjungi pabrik di China yang menggunakan teknologi ini, dan berharap teknologi serupa bisa diterapkan di Indonesia untuk mengurangi dampak lingkungan dan meningkatkan efisiensi produksi,” ungkapnya.

Meidy juga menegaskan, pentingnya mengalihkan fokus dari pengolahan nikel kelas dua (low grade) ke nikel kelas satu yang lebih bernilai tambah tinggi. “Produk turunan nikel seperti stainless steel dan baterai katoda memiliki potensi lebih besar. Kami berharap pemerintah mendukung pengembangan industri hilirisasi nikel kelas satu dan produk turunannya,” tegasnya.

Dengan adanya kebijakan hilirisasi yang semakin mendalam,dia berharap Indonesia dapat mencapai keseimbangan antara eksploitasi sumber daya alam, pengelolaan lingkungan, dan penciptaan nilai tambah yang lebih besar bagi industri domestik.

“Kita harus menjaga cadangan nikel dengan bijak agar tidak habis, karena hak atas sumber daya alam ini bukan milik perusahaan, tetapi hak pengelolaan yang pada akhirnya akan dilanjutkan oleh pemerintah,” tekannya.

Diskusi ini semakin menekankan perlunya kebijakan yang lebih terencana dalam pengelolaan industri nikel di Indonesia, agar tidak hanya fokus pada peningkatan kapasitas, tetapi juga pada keberlanjutan dan manfaat jangka panjang bagi masyarakat dan lingkungan. (Shiddiq)