NIKEL.CO.ID, JAKARTA – CEO Tesla, Elon Musk, meminta para penambang meningkatkan produksi nikelnya lebih banyak lagi, sehingga mampu menghadapi hambatan dalam pembuatan baterai kendaraan listrik atau electric vehicle (EV).
Hal ini dia disampaikannya dalam percakapan telepon dengan investor pada Juli 2020, sebagaimana dikutip mining.com, yang meminta tolong perusahaan tambang nikel untuk menghasilkan nikel lebih banyak lagi.
”Tolong tambangkan lebih banyak nikel, oke?” ungkap Elon Musk saat itu.
Setelah peristiwa itu, menurut firma riset Adamas Intelligence, penggunaan logam yang dibutuhkan untuk menggerakkan EV itu melonjak! Naik 37% dari 2023 lalu menjadi 290.000 ton. Namun, tahun ini Andrew Forrest, yang merajai perusahaan tambang BHP, Anglo American, Glencore, dan Wyloo, tidak banyak melakukan kegiatan penambangan, malah sebaliknya, ia berusaha menjual operasi tambang mereka.
Menurut BHP, penyebabnya: harga nikel anjlok! Pada Februari 2024 lalu saja harga nikel turun di bawah $16.000/ton di London Metal Exchange (LME), hampir setengah dari harga tahun sebelumnya pada 2023.
“Penurunan tersebut menyebabkan separuh produksi komoditas dunia berada di zona merah,” ujar Adamas Intelligence.
Memang, diakui beberapa minggu terakhir telah terjadi pemulihan secara moderat hingga $17.700/ton, tetapi penurunan harga nikel itu menjadi pelajaran dan harapan ke depan untuk transisi energi di negara-negara Barat.
Dari data grafik Reuters terkait nikel, terlihat penggunaan nikel dapat meningkatkan kepadatan energi baterai, yang memungkinkannya menyimpan lebih banyak daya dan menambah jangkauan EV dibandingkan bahan kimia alternatif, seperti litium fero fosfat (LFP). Dengan berat bahan sebesar 50 kg dimasukkan ke dalam setiap paket daya yang menggunakannya.
Selain itu, selama tiga tahu terakhir telah terjadi peningkatan pasokan lebih dari dua perlima. Indonesia mempunyai andil besar dalam kondisi ini. Negara dengan jumlah cadangan nikel terbesar di dunia ini, selama 10 tahun ini telah meningkatkan hasil produksi nikel 10 kali lipat, padahal sebagian besar negara lain membatasi, bahkan mengurangi produksinya.
Untuk 2023 lalu, Indonesia telah menyumbang sekitar 50% dari 3,6 juta ton penggalian nikel secara global. Namun, permintaan tidak sesuai dengan pasokan yang berlimpah. Pada tahun yang sama, dengan berbagai penyebab, China menurunkan konsumsi nikel untuk pembuatan baja nirkarat (stainless steel), yang hanya sekitar dua pertiga dari konsumsi dunia.
Demikian pula, permintaan nikel untuk produksi baterai kendaraan listrik, yang baru menghasilkan sepersepuluh produksi global, masih sulit diprediksi. Ditambah pula Ford Motor, General Motors, dan produsen mobil besar lainnya sedang melakukan perlambatan rencana pembangunan EV-nya.
Di samping kondisi itu, menurut analisis Macquarie, perusahaan EV asal Tiongkok, seperti BYD dan Contemporary Technology, tahun ini tidak menambah pembelian nikel untuk memenuhi permintaan produknya. Mereka malah memanfaatkan cadangan nikelnya masing-masing, sehingga kebutuhan nikel yang mereka beli dari pasar dunia sama seperti 2022. Akibatnya, pasokan global melebihi permintaan sebesar 4%. Ketidakseimbangan permintaan dengan pasokan tersebut menutupi perubahan jangka panjang.
Pada awal 2020, Indonesia mengejutkan dunia dengan kebijakan kontroversial. Negara ini melarang ekspor bijih nikel. Pemerintah mengharuskan bijih nikel diproses di dalam negeri dulu menjadi komoditi setengah-jadi hingga end product, baru boleh diekspor. Kebijakan tersebut diambil untuk meningkatkan nilai tambah nikel.
Pemberian insentif kepada para investor, seperti tax holiday atau pembebasan pajak selama 15 tahun, sehingga banyak investor tertarik berinvestasi. China menjadi negara utama yang menanamkan investasi paling besar di Indonesia. Seperti perusahaan tambang nikel Tsingshan dan Lygend Resources & Technology yang membangun pabrik pengolahan (smelter).
Kedua negara ini kemudian mengembangkan dan menerapkan cara untuk memproduksi nikel kelas 1–nikel dengan kemurnian 99,8% dan satu-satunya jenis nikel yang digunakan dalam baterai EV– dari pasokan kelas 2 atau kelas rendah yang melimpah di Indonesia. Produksi nikel ini dimulai saat LME mengalami penurunan nikel yang spektakuler pada Maret 2022. Penurunan nikel tersebut disebabkan terjadinya kekurangan nikel di gudang bursa, sehingga saat itu hanya memperdagangkan dan menyimpan nikel kelas 1, yang pada saat itu belum mencakup inovasi dari Indonesia.
Pada 2023, LME baru mulai menerima sebagian dari nikel Indonesia itu, yang mengalihkan kekuatan harga ke Indonesia, karena negara ini dapat mengubah nikel kelas 2 menjadi kelas 1 dengan lebih murah dibandingkan dengan penambang di negara-negara maju yang dapat menggali logam dengan kualitas lebih tinggi.
Semua hal lainnya dianggap sama, faktor-faktor ini seharusnya dapat dikelola oleh para penambang dari Australia, Kaledonia Baru, hingga Amerika Latin. Bahkan, dengan harga $16.000/ton, harganya 20% lebih tinggi dibandingkan saat Elon Musk mengeluarkan permohonannya pada 2020.
Dalam perhitungan Mandala Partners dalam laporan untuk The Chamber of Minerals and Energy of Western Australia, inflasi dan beberapa pengeluaran lain telah meningkatkan pengeluaran. Untuk biaya produksi rata-rata di Down Under saat ini adalah $17.000/ton, 49% lebih tinggi dibandingkan 2019 dan 28% lebih tinggi dibandingkan beberapa operasi di Indonesia. (Shiddiq)