NIKEL.CO.ID – Para penambang nikel mengalami kerugian besar akibat sengkarut perhitungan kadar. Penambang menyatakan, kerugian yang diterima mencapai US$ 300 juta atau sekitar Rp 4,26 triliun (asumsi kurs Rp 14.200) karena membayar pinalti.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) Meidy Katrin Lengkey pun menjelaskan tata niaga nikel. Dia mengatakan, jika mengikuti harga acuan maka penambang mengikuti harga patokan mineral (HPM) yang setiap bulan ditetapkan pemerintah yaitu berbasis free on board (FOB) yaitu di pelabuhan muat atau pelabuhan tambang.
“Tapi dalam pelaksanaannya model perdagangan bijih nikel yang diwajibkan kami yaitu kami menerima kontrak yaitu 99% harus dilalui oleh trader,” katanya dalam CORE Media Discussion, Selasa (12/10/2101).
Ada plus minus melalui jasa perantara ini. Positifnya, trader banyak membantu penambang salah satunya mengcover dulu transaksi tersebut. Di sisi lain, ia menilai, para trader ini seakan-akan hanya meneruskan kontrak dari pihak smelter di dalamnya hanya diberikan subsidi transportasi US$ 0 sampai US$ 3 per ton.
“Jadi contoh seperti tadi HPM misalnya US$ 40 untuk FOB kami menanggung biaya subsidi untuk transportasi karena kontrak yang diberikan selalu CIF (cost, insurance & freight) jadi hanya sekitar US$ 43,” tambahnya.
Padahal, kata dia, ada tambang-tambang yang jauh lokasinya. Sehingga, transportasinya mencapai US$ 10-US$ 12 per ton.
“Bagaimana jika tambang-tambang yang jauh yang harus menanggung biaya transportasi atau biaya tongkang sampai US$ 8 bahkan ada yang dari Papua sampai US$10 dan US$ 12. Jika diberikan subsidi US$ 3 berarti kami kan menanggung sekitar US$ 6 sampai US$7. Jika dihitung harga FOB US$ 40 kami menanggung subsidi US$ 6 dolar berarti kan transaksi tidak sesuai Permen ESDM Nomor 11 tahun 2020,” katanya.
Masalah dalam tata niaga nikel tak hanya berhenti di situ. Perhitungan kadar pun kerap terjadi perbedaan antara di pelabuhan muat dan pelabuhan bongkar. Pihaknya pun telah meminta Tim Satgas HPM dan Kementerian Perdagangan (Kemendag) untuk menindaklanjuti. Sebab, dia menuturkan, jika dalam perhitungan ada penurunan kadar maka penambang mendapat pinalti.
“Karena di sini terjadi kerugian yang cukup besar. Kami menghitung dari kerugian dari pelaku pertambangan, jika misalnya kita diberikan kontrak US$ 40 plus US$ 3 yaitu US$ 43, kita menanggung biaya tongkang US$ 8 dolar, berarti kita hanya menerima US$ 35,” terangnya.
“Dan jika terjadi selisih kadar yang rata-rata kalau kami hitung-hitung ada sampai minus banget, misalnya terjadi penurunan sampai US$ 5, kita kena pinalti US$ 5. Bagaimana dengan kontrak yang jika di tahun 2021 ada sekitar 120 juta ton RKAB yang diterbitkan pemerintah yang sudah terkirim ada sekitar 60 juta ton bijih nikel, dan rata-rata 60 juta ton jika dikenakan pinalti US$ 5 berarti ada kerugian US$ 5 kali 60 juta ton sekitar US$ 300 juta,” terangnya.
Sumber: detik.com