
NIKEL.CO.ID, JAKARTA – Sekretaris Umum Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Meidy Katrin Lengkey, meminta pemerintah untuk mengalihkan rencana kenaikan tarif royalti pertambangan nikel ke sektor lain.
Meidy beralasan bahwa penambahan royalti justru akan memberatkan para pengusaha tambang, yang sudah menghadapi berbagai beban berat.

“Sederhana saja, daripada menaikkan royalti, lebih baik kita menaikkan royalti dari sektor lain,” ujar Meidy dalam sebuah acara diskusi Wacana Kenaikan Royalti Pertambangan Nikel, di Jakarta baru-baru ini.
Menurutnya, beban para penambang saat ini sudah cukup tinggi, terutama dengan adanya kewajiban penempatan devisa hasil ekspor (DHE) yang mencapai 100% dan harus dilakukan selama satu tahun penuh.
“Beban-beban kita sangat banyak, kewajiban-kewajiban yang harus kita penuhi terhadap pemerintah,” tambahnya.

Dia khawatir bahwa apabila royalti dinaikkan, maka marjin keuntungan perusahaan tambang akan semakin tergerus. Akibatnya, kapasitas produksi tambang bisa dipangkas, yang pada gilirannya berpotensi menyebabkan penurunan pendapatan dan bahkan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal bagi para karyawan serta perusahaan pendukung dan daerah di sekitar wilayah pertambangan.
“Jika kapasitas produksi kita kurangi dan beberapa perusahaan akhirnya memilih untuk tutup, lalu untuk apa kita teruskan produksi kalau tidak ada kebutuhan?” ujarnya.
Baca Juga:
Tarif Royalti Naik, APNI: Pengusaha Tambang Keberatan
APNI: Daripada Naikkan Tarif Royalti, Lebih Baik Pemerintah Tetapkan Harga Kobalt dan Fero
Kadin Tanggapi Wacana Kenaikan Tarif Royalti Nikel
Meidy juga menyoroti proyeksi kebutuhan nikel pada tahun 2025 yang diperkirakan mencapai sekitar 500 juta ton, dengan rata-rata cut-off sekitar 1,5 hingga 1,6 juta ton per tahun. Oleh karena itu, ia berharap agar organisasi-organisasi yang berkepentingan dapat membantu APNI dalam perhitungan kalkulasi komoditas nikel.
“Tolong bantu APNI untuk membuat perhitungan yang jelas, kira-kira kita bisa menutupi kebutuhan ini sampai kapan, dan smelter-smelter ini bisa beroperasi sampai kapan,” harapnya.
Meidy juga mengingatkan bahwa dalam kondisi saat ini, perusahaan tambang harus mempertimbangkan hingga berapa lama mereka bisa berproduksi, dan seberapa lama investor masih bisa menikmati hasil dari produksi nikel.

“Ini juga berdampak pada harga jual dan cadangan mineral yang ada,” tuturnya.
Meidy berharap agar pemerintah bisa mempertimbangkan kembali kebijakan tersebut demi keberlangsungan industri tambang nikel di Indonesia. (Shiddiq)