Beranda Asosiasi Pertambangan Tarif Royalti Naik, APNI: Pengusaha Tambang Keberatan

Tarif Royalti Naik, APNI: Pengusaha Tambang Keberatan

2170
0
Sekum APNI Meidy Katrin Lengkey CNBC Indonesia, Selasa (25/3/2025)

NIKEL.CO.ID, JAKARTA – Sekretaris Umum (Sekum) Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Meidy Katrin Lengkey, mengatakan bahwa para pelaku usaha industri pertambangan merasa keberatan dengan kenaikan tarif royalti untuk sektor komoditas mineral dan batu bara.

“Para pengusaha ini, baik dari penambang maupun smelter juga merasa keberatan karena kondisinya yang begitu banyak kewajiban walaupun Indonesia adalah negara dengan proses penambangan terendah atau min out. Artinya, galiannya itu kita paling murah sedunia,” ujar Meidy dalam tayangan CNBC Indonesia , Selasa (25/3/2025).

Namun, menurutnya, jika dibandingkan dengan kewajiban-kewajiban negara lain di dunia terkait royalti dalam kategori penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dan untuk tarif 10% saja kita sudah tertinggi untuk royalti PNBP dibanding dengan negara-negara penghasil nikel lainnya.

“Karena negara-negara lain penghasil nikel royaltinya itu rata-rata 2% sampai 7% atau 9%, sangat jauh. Dan, bahkan ada negara yang royaltinya best profit bukan best venue,” ujarnya.

Baca Juga: APNI: Daripada Naikkan Tarif Royalti, Lebih Baik Pemerintah Tetapkan Harga Kobalt dan Fero

Dia menjelaskan, tarif 10% saja Indonesia sudah menjadi negara tertinggi yang menempatkan royaltinya tapi kalau ditambah lagi tarif royaltinya menjadi 14% sampai 19%, dimana 14% itu adalah batas minimum untuk harga mineral acuan (HMA) sebesar US$18.000. Namun, kapan HMA mencapai US$18.000 karena dengan kondisi saat ini harga semakin turun.

Meskipun dari pemerintah melalui Kementerian ESDM telah menegaskan bahwa wacana kenaikan tarif royalti pertambangan ini berdasarkan kajian dan evaluasi keuangan pemasukan pemerintah dan perusahaan untuk keseimbangan dan keadilan.

Tetapi, Meidy menuturkan, harus dilihat dari sisi global lebih dulu, karena pasar produk nikel Indonesia itu ada di luar negeri, kecuali Indonesia sudah memiliki produk akhir seperti baterai kendaraan listrik. Hingga saat ini saja Indonesia belum ada produk akhir atau jadi dari nikel.

“Artinya kita masih ekspor juga, dan beberapa perusahaan tahun 2024 juga masih impor bijih nikel dari luar negeri karena ada transisi rencana kerja dan anggaran biaya (RKAB) tiga tahun yang sebelumnya satu tahun dan keterlambatan penerbitan RKAB di tahun 2024, mau tidak mau pabrik harus jalan terus tidak bisa diam walaupun satu jam,” tuturnya.

Baca Juga: RUPS Tahunan 2025 PT Ifishdeco Tbk Setujui Pembagian Dividen Rp25,097 Miliar

Ia melanjutkan, kalau para penambang tidak bekerja dalam satu bulan sekalipun, itu tidak menjadi masalah tetapi kalau pabrik smelter tidak bisa,  meski satu jam sekalipun tidak bisa, mereka harus terus beroperasi selama 24 jam.

Selain itu, Meidy menjelaskan, ada dampak yang harus dilihat dalam mempertimbangkan rencana kenaikan tarif royalti sudah tepat atau tidak, yaitu, pertama dari kondisi sisi global terhadap permintaan pasar nikel Indonesia. Kedua cos produksi industri tambang bisa di covering dengan negara-negara penghasil nikel yang lain. Ketiga konsistensi Indonesia dalam satu kenyamanan dan keamanan dalam berusaha dan konsistensi aturan.

“Karena beberapa investor juga merasa bagaimana mau berinvestasi di Indonesia kalau masih terjadi inkonsistensi dalam regulasi,” jelasnya.

Meidy menuturkan, seperti wacana kenaikan tarif royalti ini, meskipun bukan inkonsistensi tetapi yang pasti telah memberatkan beban para pelaku industri pertambangan.

“Kalau harga nikel sedang naik signifikan maka kenaikan tarif royalti itu tidak ada masalah sama sekali,” pungkasnya. (Shiddiq)