NIKEL.CO.ID, JAKARTA – Ditengah rencana kenaikan tarif royalti oleh pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk menyeimbangkan pemasukan kas negara dengan perusahaan, Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) menyarankan pemerintah lebih baik memanfaatkan potensi pemasukan kas negara dari komoditas kobalt dan fero yang masih gratis selama ini.
Sekretaris Umum (Sekum) Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Meidy Katrin Lengkey, megungkapkan bahwa ada solusi lain daripada memberatkan pengusaha tambang untuk pemasukan kas negara selain menaikkan tarif royalti enam komoditas pertambangan mineral dan batu bara (minerba), yakni nikel, timah, emas, tembaga, perak dan batu bara.

“Indonesia sudah menghasilkan produk nikel, mangan dan kobalt (NMC). Selama ini dari seluruh olahan itu yang dibayarkan hanya nikel dan mangan. Artinya kita sudah punya produk NMC tapi sayangnya kobaltnya masih gratis,” ungkap Meidy dalam tayangan Mining Zone, CNBC Indonesia, Selasa (25/3/2025).
Menurutnya, APNI sudah memberikan masukan sekitar 2 – 3 tahun lalu bahwa ada potensi pemasukan negara dari beberapa komoditas mineral ikutan dari pabrik pengolahan mineral nikel berteknologi High-Pressure Acid Leaching (HPAL) yang menghasilkan produk prekusor sampai katoda yang dikenal dengan MNC. Artinya, potensi nilai kobalt untuk ditetapkan nilai harga jual dan pajak maupun royaltinya untuk pemasukan kas negara masih sangat besar untuk didapat.
Baca Juga: Alasan Tarif Royalti Dinaikkan? Ini kata Bahlil
Pada bulan ini, perdagangan komoditas pertambangan kobalt di Negara Kongo telah merilis harga kobalt diperdagangan internasional. Hal ini disampaikan oleh Deputi Kementerian Energi Kongo kepadanya dan sejak 2023, Indonesia menjadi negara terbesar kedua produsen kobalt setelah Kongo yang menjadi nomor satunya.
“Lalu, negara dapat apa dari kobalt Indonesia? Kami sudah bersuara ke pemerintah dari tahun kemarin, ada potensi penerimaan negara dari mineral pengikut, salah satunya kobalt. Karena ada produknya kecuali belum ada produknya, jangan dikenakan harga. Tapi sekarang kita sudah punya produknya,”ujarnya.
Dia juga menuturkan, stainless steel (baja tahan karat) Indonesia yang dikenal Chindo karena yang mengolah China tapi di ada Indonesia pabrik pengolahannya, itu 55% lebih rendah dibanding Eropa atau negara barat karena salah satu penyebabnya adalah feronya gratis.

“Penyebab faktor utama adalah salah satunya bahan baku feronya gratis,” tuturnya.
Ia menambahkan, dalam proses pengolahan, Indonesia dinilai masih relatif sangat murah dibandingkan dengan negara lain karena perusahaan pengelolaan tersebut banyak mendapatkan insentif dan subsidi dari negara.
“Kami sebagai perusahaan lokal, terkadang cemburu, kami perusahaan nasional tapi tidak mendapatkan fasilitas insentif atau subsidi apapun itu,” tambahnya.
Meidy memaparkan bahwa perusahaan nasional selama ini telah memberikan kontribusi yang cukup besar termasuk membayar royalti dari setiap perdagangan transaksi penjualan nikel ke negara. Dalam hal ini, menurutnya, ada dua royalti; Pertama, untuk non integrated smelter yang membayar adalah penambang atau raw material. Kedua, untuk integrated smelter di Indonesia hanya ada empat perusahaan, yakni, PT Aneka Tambang Tbk., (Antam), PT Vale Indonesia Tbk., (Vale), PT Wanatiara Persada, dan PT Weda Bay Indsutrial Park (IWIP). Mereka terintegrasi di tambang dan royalti dibayar di akhir.
Baca Juga: Tarif Royalti Naik, APNI: Pengusaha Tambang Keberatan
“Kecuali yang di Izin Usaha Industri (IUI), di luar empat perusahaan integrasi itu yang bayar royalti adalah kami, para pelaku pertambangan nikel Indonesia, yang masuk dalam wacana kenaikan tarif royalti antara 14% – 19%,” paparnya.
Namun, dia menegaskan, yang akan berdampak langsung adalah empat perusahaan pabrik pengolahaan terintegrasi, mulai Antam, Vale, Wanatiara, Weda bay (IWIP) yang sebelumnya tarif royalti yang mereka bayar biasanya sebesar 2%, dan kini harus membayar sebesar 5% – 7% dan cukup prihatin karena secara nilai itu cukup besar.
“Salah satu solusi adalah bagaiamana pemerintah menetapkan harga untuk mineral pengikut yang punya nilai dan ada produk, kalau tidaka ada produk , ya menurut kami juga jangan. Salah satunya adalah kobalt,” tegasnya. (Shiddiq)
