NIKEL.CO.ID, JAKARTA – Sekretaris Umum Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Meidy Katrin Lengkey menyoroti kapasitas Perguruan Tinggi (PT) atau Kampus, Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) dan Organisasi Masyarakat (Ormas) Keagamaan harus memenuhi kapasitas kalau mau mengelola tambang terkait Rencana Undang-Undang Minerba Nomor 4 Tahun 2009.
Hal ini, dia ungkapkan dengan alasan bahwa kalau tidak memenuhi kapasitas maka yang akan terjadi adanya ketidakselarasan antara kebijakan dan implementasi di lapangan. APNI saja yang sudah berpengalaman banyak menghadapi keterlambatan dalam proses perizinan, termasuk pengajuan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB), yang menyebabkan masalah pada sektor nikel.
“Kalau konsesi tambang diberikan kepada yang belum profesional bagi kami mereka belum memiliki kapasitas,” ujar Meidy yang ditayangkan IDX Channel, Kamis (30/1/2025).
Dalam pembahasan mengenai Rancangan Undang-Undang (RUU) Perubahan Keempat atas Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (RUU Minerba) terus bergulir, dengan rapat paripurna DPR RI Ke-11 masa persidangan II tahun 2024-2025 menyepakati RUU tersebut sebagai inisiatif DPR.
Salah satu isu utama yang menjadi perhatian adalah pemberian izin usaha tambang (IUP) kepada sejumlah pihak, termasuk ormas keagamaan, perguruan tinggi, dan UMKM.
Bahkan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia, menyatakan dukungannya terhadap revisi ini dengan catatan bahwa perubahan tersebut harus mencerminkan amanah Pasal 33 Ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945, yang mengatur tentang pemanfaatan sumber daya alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Namun menurut Meidy, meski Indonesia memiliki cadangan nikel melimpah, kebijakan yang belum matang ini menyebabkan ketergantungan pada impor bijih nikel. Ia juga menegaskan bahwa sebelum merumuskan aturan baru, seharusnya dilakukan evaluasi terhadap aturan yang ada.
“Sebelum kita beralih ke aturan baru, mari kita kaji ulang implementasi aturan yang lama untuk melihat apa yang perlu diperbaiki,” kata Sekum APNI.
Selain itu, dia juga menekankan pentingnya perhatian terhadap lingkungan, sosial, dan tata kelola perusahaan (ESG), yang menjadi sorotan global terkait energi hijau.
Sebagai catatan, sektor pertambangan di Indonesia, terutama nikel, harus bersiap menghadapi tantangan besar terkait pengakuan internasional, di mana Indonesia sering dikaitkan dengan “nikel kotor.”
Hal ini berpotensi membatasi akses pasar internasional, terutama dengan adanya paspor baterai di luar negeri. Ditambah dengan meningkatnya biaya produksi dan fluktuasi harga nikel yang menurun, kebijakan yang tidak tepat bisa semakin memperburuk situasi.
RUU Minerba memang membuka banyak peluang, namun jika tidak disusun dengan hati-hati dan melibatkan seluruh pemangku kepentingan, risikonya bisa sangat besar bagi masa depan industri pertambangan Indonesia.
Sementara itu, Ketua Badan Kejuruan Pertambangan Persatuan Insinyur Indonesia, Rizal Kasli mengungkap bahwa Undang-Undang Minerba No. 3 Tahun 2020 baru disahkan dalam waktu kurang dari lima tahun, sudah ada kebutuhan mendesak untuk meninjau ulang implementasinya.
“Kami perlu melakukan evaluasi menyeluruh terhadap UU Minerba, baik yang lama maupun yang baru, untuk memastikan bahwa kebijakan ini benar-benar memberikan manfaat yang diharapkan,” ungkap Rizal dalam acara tersebut.
Lebih lanjut, dia mengkritisi lambatnya penerbitan peraturan turunan dari undang-undang sebelumnya, yang memperburuk situasi di lapangan.
“Beberapa peraturan, seperti Peraturan Presiden, terlambat diterbitkan, yang menyebabkan masalah besar dalam perizinan dan pengelolaan pertambangan,” jelasnya.
Dengan segala pertimbangan ini, Rizal Kasli dan pelaku industri lainnya sepakat bahwa pemberian IUP kepada pihak yang tidak memiliki kapasitas profesional dapat berdampak buruk bagi sektor ini.
“Jika konsesi tambang diberikan kepada pihak yang belum profesional, kami khawatir mereka tidak memiliki kapasitas untuk mengelola sumber daya alam dengan baik,” pungkasnya. (Shiddiq)