Beranda Asosiasi Pertambangan APNI Dorong Pembentukan Bursa Pasar Komoditas Nikel di Indonesia

APNI Dorong Pembentukan Bursa Pasar Komoditas Nikel di Indonesia

1942
0

NIKEL.CO.ID, JAKARTA – Industri nikel Indonesia diprediksi akan menghabiskan bijih nikel sebanyak 735 juta ton per tahun jika seluruh smelter yang ada saat ini beroperasi. Jumlah ini tentu sangat signifikan mengingat saat ini terdapat 147 smelter yang tersebar di seluruh Indonesia.

Hal tersebut disampaikan Sekretaris Umum Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Meidy Katrin Lengkey, dalam diskusi kelompok yang terfokus atau focus group discussion (FGD) yang diselenggarakan Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti).

Menurut Meidy, saat ini 54 pabrik pengolahan nikel sudah beroperasi, 49 di antaranya menggunakan teknologi pirometalurgi dan 5 lainnya menggunakan hidrometalurgi. Sejumlah smelter lainnya masih dalam tahap pembangunan atau ada yang masih menunggu kelengkapan perizinan.

Total kapasitas pengolahan nikel yang ada saat ini, lanjutnya, bisa mencapai konsumsi bijih nikel hingga 735 juta ton per tahun, sebuah angka yang sangat besar dan menunjukkan potensi luar biasa bagi sektor hilir industri nikel Indonesia.

Jika dihitung, katanya menambahkan, berdasarkan proyeksi produksi nikel 2024 diperkirakan mencapai 288 juta ton bijih nikel, dengan harga rata-rata sekitar US$30 per ton, maka nilai produksi tersebut sudah mencapai angka yang sangat besar.

“Itu baru dari sisi hulu saja, belum lagi kita berbicara tentang potensi hilir dan nilai tambah yang bisa dihasilkan dari olahan nikel,” ujarnya dalam acara tersebut melalui daring, Selasa (26/11/2025).

Ia mengungkapkan, berdasarkan data KBLI 24202, jumlah badan usaha pengolahan nikel yang ada bisa mencapai 240 badan usaha, yang berarti total konsumsi bijih nikel bisa melebihi 1,2 miliar ton.

Namun, sambungnya, tantangan yang dihadapi oleh Indonesia dalam membangun smelter olahan nikel merah putih tidaklah mudah. Salah satu kendala utama adalah minimnya dukungan dari perbankan Indonesia, terutama bank-bank milik negara.

“Saya merasa miris, kenapa tidak ada perbankan Indonesia yang mau mendukung pembangunan smelter merah putih. Bank-bank kita tidak mampu, padahal jika seluruh transaksi nikel olahan ini dilakukan di Indonesia, menggunakan perbankan nasional, kita bisa meningkatkan kapasitas produksi secara signifikan,” ujarnya.

Dia menambahkan, sejauh ini smelter yang dibangun di Indonesia sebagian besar masih mengandalkan konsorsium penambang dengan skala kecil, seperti yang terjadi di Palopo. Oleh karena itu, sangat penting agar seluruh transaksi nikel—baik bijih nikel maupun produk olahannya seperti nikel pig iron (NPI), nikel matte, dan nikel sulfat—dilakukan di Indonesia, sehingga negara dapat mengontrol proses produksi dan meningkatkan devisa negara.

Menghadapi tantangan tersebut, APNI mendorong pembentukan bursa pasar komoditas mineral nikel di Indonesia. Indonesia, katanya lagi, perlu memiliki sistem perdagangan yang lebih terstruktur dan dapat dikontrol, untuk menghindari praktik ilegal dan mengoptimalkan potensi ekonomi nikel.

“Jika semua transaksi nikel, baik bijih maupun turunannya, dilakukan di Indonesia dan diatur oleh Bappebti dan OJK, maka kita bisa mengontrol harga dan distribusinya. Ini akan menguntungkan semua pihak, mulai dari produsen hingga pemerintah,” ujarnya.

Indonesia memiliki cadangan nikel terbesar di dunia, namun belum memiliki sistem analisis pasar yang kuat. Negara-negara, seperti Jepang dan China, yang mengimpor nikel dari Indonesia, memiliki bursa komoditas nikel sendiri, seperti SMM dan Asian Metal, meskipun mereka tidak memiliki cadangan nikel yang besar. Ia berharap Indonesia bisa meniru sistem tersebut, dengan memiliki bursa komoditas yang tidak hanya mendominasi pasar domestik, tetapi juga bisa bersaing di pasar global.

Selain itu, ia juga menekankan pentingnya kolaborasi antara pemerintah, penambang, dan pembeli akhir, seperti industri kendaraan listrik dan stainless steel, untuk menciptakan ekosistem industri yang berkelanjutan.

“Kita tidak bisa hanya berdiri sendiri sebagai produsen. Harus ada kerja sama dengan pasar global agar Indonesia bisa mengontrol sepenuhnya rantai pasokan nikel dari hulu hingga hilir,” tuturnya.

Dia juga menyebutkan, dengan adanya pengawasan yang lebih ketat dan sistem yang lebih baik, Indonesia bisa menjadi pusat perdagangan nikel yang lebih terorganisir, yang pada gilirannya akan meningkatkan posisi Indonesia di pasar global, serta mendatangkan lebih banyak investasi dan peluang kerja.

Dengan potensi yang sangat besar, Indonesia memiliki kesempatan untuk menjadi pemain utama dalam industri nikel dunia. Namun, hal ini memerlukan kolaborasi antara berbagai pihak—baik pemerintah, industri, maupun perbankan—untuk menciptakan ekosistem yang kondusif bagi pengembangan sektor hilir nikel. Melalui langkah-langkah strategis seperti pembentukan bursa pasar komoditas dan pembiayaan yang mendukung pembangunan smelter, Indonesia dapat memaksimalkan potensi nikel yang ada dan meningkatkan daya saingnya di pasar global. (Shiddiq)