
NIKEL.CO.ID, BALI — Dunia tengah memasuki era baru. Teknologi energi bersih, seperti panel surya dan kendaraan listrik (electric vehicle/EV) menjadi ujung tombak dalam upaya global mencapai target emisi nol bersih (net zero emissions/NZE). Namun, transisi ini menghadirkan tantangan besar: melonjaknya permintaan mineral kritis. Di tengah dinamika tersebut, ASEAN berdiri sebagai pemain strategis yang berpotensi mempengaruhi rantai pasokan global.
Hal itu disampaikan Direktur Kerja Sama Ekonomi ASEAN Kementerian Luar Negeri RI, Adhyanti Sardanarini Wirajuda, dalam ASEAN Mining Conference 2024 di Bali. Dengan tema “Menavigasi Geopolitik dalam Mineral Kritis: Bagaimana Negara-negara Anggota ASEAN Memainkan Peran Strategis,” Andhita menyoroti betapa pentingnya cadangan mineral kawasan ini dalam mendorong perubahan menuju energi terbarukan.
Menurut dia, permintaan mineral melonjak, hal ini menjadi peluang dan tantangan. Teknologi energi bersih membutuhkan lebih banyak mineral dibandingkan teknologi berbasis bahan bakar fosil. Data dari Asian Development Bank (ADB) menunjukkan bahwa dalam skenario bisnis seperti biasa, permintaan global terhadap mineral kritis akan meningkat 1,8 kali lipat pada 2030. Sementara itu, dalam skenario NZE 2050, angka tersebut diperkirakan melonjak hingga 3,6 kali lipat.
“Ini bukan hanya peningkatan biasa, tetapi lonjakan signifikan yang akan mendefinisikan ulang bagaimana sektor pertambangan beroperasi,” ujarnya dalam paparan yang berlangsung The Meru Sanur Hotel, Bali, Selasa (19/11/2024) itu.
“ASEAN harus siap memanfaatkan peluang ini sambil menavigasi risiko geopolitik yang semakin kompleks,” sambungnya.
Adhyanti menjelaskan, sebagai pusat mineral dunia, dengan cadangan mineral yang melimpah, maka ASEAN memiliki posisi strategis dalam memenuhi kebutuhan global. Kawasan ini mencakup sekitar 45,7% pasokan nikel dunia, serta 11% elemen tanah jarang (rare earth elements), yang menjadi komponen penting dalam baterai EV, turbin angin, hingga perangkat elektronik canggih.
Indonesia menjadi sorotan utama dengan cadangan nikel terbesar di dunia, sementara Myanmar dan Vietnam turut berkontribusi melalui cadangan nikel langka serta mineral lainnya. Selain itu, kawasan ini juga memiliki kekayaan timah dan bauksit yang signifikan, memperkuat perannya dalam pasar global.
“Cadangan mineral ASEAN tidak hanya menjadi sumber daya strategis tetapi juga alat diplomasi ekonomi yang kuat. Dengan pengelolaan yang tepat, kita dapat memimpin transisi global menuju energi terbarukan,” jelasnya.
Ia juga memaparkan, terkait menavigasi geopolitik mineral kritis memiliki tantangan sebagai pemain utama di pasar mineral global bukan tanpa tantangan. Meningkatnya ketergantungan negara-negara besar terhadap pasokan mineral ASEAN dapat menimbulkan tekanan geopolitik. Oleh karena itu, ASEAN harus mampu menciptakan strategi kolektif untuk menjaga kedaulatan sumber daya dan memastikan keberlanjutan.
Konferensi ini, yang dihadiri oleh perwakilan dari berbagai negara anggota ASEAN, pengusaha tambang, dan pakar energi, menjadi wadah untuk merumuskan langkah-langkah strategis. Kerja sama regional diperlukan untuk memastikan bahwa keuntungan dari ledakan permintaan mineral tidak hanya dirasakan oleh pemain global, tetapi juga membawa dampak positif bagi masyarakat lokal.
Dia menutup sesi dengan pesan optimisme: “ASEAN memiliki semua yang diperlukan untuk menjadi pusat inovasi dan keberlanjutan di sektor mineral. Dengan kolaborasi yang kuat dan visi yang jelas, kita bisa menjadi pemimpin dalam era energi bersih.”
ASEAN Mining Conference 2024 diharapkan menjadi titik awal transformasi besar bagi kawasan ini dalam mengelola aset mineralnya secara berkelanjutan sekaligus memainkan peran strategis di panggung global. (Shiddiq)