Beranda Nikel Perhapi: Ramai Isu LFP, Nikel Tetap Dibutuhkan

Perhapi: Ramai Isu LFP, Nikel Tetap Dibutuhkan

3193
0
Webinar Suara Energi 5 Februari 2024
Webinar Suara Energi 5 Februari 2024. Dok: Suara Energi

NIKEL.CO.ID, JAKARTA – Ketua Bidang Kajian Strategis Pertambangan dari Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi), Mohammad Toha, mengatakan, diperkirakan tahun 2040 penggunaan nikel untuk baterai persentasenya meningkat sangat drastis.

Dalam webinar bersama Suara Energi Selasa (5/2/2024) dengan tema “LFP vs Baterai Nikel: Quo Vadis Masa Depan Nikel Indonesia”, Toha menyampaikan, penggunaan nikel untuk baterai dari yang hanya 3% akan meningkat menjadi 30%. 

“Kenaikan kebutuhan nikel untuk baterai mobil listrik itu diperkirakan sangat besar. Sehingga secara komposisi diperkirakan tahun 2040 penggunaan nikel untuk baterai itu persentasenya meningkat sangat drastis. Dari 3% saat ini menjadi sekitar 30%,” ujarnya.

Dia juga mengatakan, sebenarnya nikel itu pemakaian terbesarnya bukan untuk baterai mobil listrik tetapi untuk stainless steel. Sebanyak 71% dari nikel dunia itu dikonsumsi untuk stainless steel adalah material yang dipakai untuk beragam industri mulai dari industri militer, industri rumah tangga industri kesehatan, industri manufacturing, industri otomotif dan banyak hal.

“Kalau dari bukunya, Pak Irwandy Arif mengatakan bahwa nikel saat ini dipakai untuk lebih dari 100.000 produk industri. Jadi, banyak sekali pemakaian nikel Indonesia untuk kebutuhan-kebutuhan atau keseharian kita. Kita pasti akan menemukan nikel di sekeliling kita,” lanjutnya.

Dia juga menjelaskan porsi pemakaian nikel untuk baterai itu hanya sekitar 3% saja, sangat kecil, sementara yang sisanya itu untuk foundry, planting, non-ferrous alloys, alloy steel, dan powder.

“Jadi baterai saat ini memang masih kecil. Mayoritas dipakai untuk stainless steel,” ujar pria lulusan magister Ilmu Komunikasi Universitas Esa Unggul ini.

Dalam paparannya dia juga menyampaikan, nikel adalah mineral yang sangat strategis. Namun, kehadiran nikel tanpa kehadiran kobalt sangat tidak mungkin terjadi. Begitu juga dengan renewable energy mengingat Indonesia akan melakukan transformasi dari energi fosil menjadi renewable energy

“Teknologi renewable energy itu juga membutuhkan nikel dan kobalt. Hampir semua apa yang disebut sebagai renewable energy itu akan membutuhkan nikel dan kobalt”, lanjutnya.

Sementara penggunaan nikel untuk stainless steel akan berkurang menjadi 48%. Akan tetapi, sebenarnya dari sisi volume jumlah kebutuhan nikel untuk stainless steel di tahun 2040 itu sebenarnya mengalami peningkatan dari sekitar 1,6 juta di tahun 2040 menjadi 1,9 juta.

“Jadi secara volume sebenarnya naik. Begitu juga dengan yang lain-lain. Jadi, artinya sebenarnya nikel itu akan tetap dibutuhkan,” pungkasnya. (Aninda)