NIKEL.CO.ID, JAKARTA – Ekosistem baterai listrik dan kendaraan listrik (battery electric vehicle/BEV atau EV) merupakan strategi Pemerintah Indonesia dalam mewujudkan hilirisasi nikel untuk menuju green energy agar mendapatkan nilai tambah yang optimal.
Hal ini diperkuat secara alami dengan sumber daya alam nikel yang dimiliki Indonesia terbanyak nomor satu di dunia. Untuk dapat memberikan manfaat bagi bangsa dan negara maka komoditas nikel diupayakan sampai menjadi praduk jadi, seperti baterai listrik dan kendaraan listrik. Sehingga nikel memiliki daya jual yang tinggi dan optimal.
Namun kenyataannya hingga sekarang bahan baku BEV dan EV masih menggunakan lithium ferro phosphate (LFP) dari pabrik kendaraan listrik yang ada di Indonesia, seperti Wuling dan bahkan Perusahaan Mobil Internasional merek Tesla masih menggunakan LFP.
“Pertanyaannya, EV yang ada sampai saat ini bahkan yang sangat famous brand itu Tesla sejak awal sampai saat ini masih menggunakan baterai LFP,” kata Sekretaris Umum Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Meidy Katrin Lengkey, dalam bincang pagi di IDX TV, Rabu (24/1/2024) kemarin.
Menurutnya, kenapa pabrik baterai listrik dan kendaraan listrik tidak menggunakan nikel atau yang disebut nickel manganese cobalt (NMC), dia beralasan hal ini harus ada beberapa faktor pendukungnya untuk beralih atau berinovasi dari LFP ke NMC.
Sedangkan untuk ekspor komoditas nikel Indonesia ke China itu masih dalam bentuk produk nickel pig iron (NPI) untuk kebutuhan pabrik stainless steel di China, sedangkan Indonesia sendiri juga ada pabrik stainless steel.
Faktor peralihan dari LFP ke NMC yang harus diperhitungkan diantaranya mengenai biaya, kedua nikel bukanlah satu-satunya bahan baku pembuat baterai. Ada yang dari bahan baku hidrogen, nuklir maupun sodium.
“Nikelnya kemana? Jadi tidak seksi lagi karena kekurangan demand dunia untuk nikel. Jadi selama ini mayoritasnya stainless steel saja, belum ke baterai,” ujarnya.
Dia memaparkan, tentunya perlu langkah-langkah strategis dari pemerintah untuk nasib masa depan hilirisasi nikel yang lebih baik lagi. Sebagai pemain global, Indonesia merupakan produser nikel dunia nomor satu dan pemilik cadangan nikel terbanyak nomor satu dunia serta mampu mengontrol suplly bahan baku nikel dunia, mulai dari stainless steel maupun hidrometalurgi yang menghasilkan bahan baku baterai seperti NMC.
“Salah satunya adalah pembatasan atau bahasa kami, stop dong pabriknya jangan jor joran. Kita ini overtarget, oversupply, overcapacity juga. Ke khawatiran kami bukan hanya karena kebutuhan dunia mengenai produk olahan nikel Indonesia, tapi juga kita amat sangat kawatir, pertama mengenai cadangan, sekali lagi cadangan nikel kita akan berkurang,” paparnya.
Selain itu, ia juga menjelaskan, penggunaan nikel benar-benar diharapkan bisa menjadi bahan baku utama pembuatan baterai untuk kendaraan listrik meski berhadapan dengan LFP.
“Kita batasi untuk meng-invite pembangunan pabrik baru khususnya ke pirometalurgi. Pirometalurgi itu adalah pengolahan bijih nikel kadar tinggi, yaitu menjadi nickel pig iron, ferronikel, nickel matte sampai ke stainless steel. Untuk ke baterai, nickel matte itu masih dibutuhkan untuk membuat baterai sel. Jadi kita tetap butuh nickel matte-nya tapi utamanya adalah hidrometalurgi. Hidrometalurgi ini menggunakan bijih nikel kadar rendah,” jelasnya. (Shiddiq)