
NIKEL.CO.ID, 24 Oktober 2022 – Sekretaris Umum Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Meidy Katrin Lengkey mengibaratkan APNI adalah sebuah klinik hukum untuk para pasien dari kalangan pengusaha pertambangan maupun industri nikel. Hal itu karena banyaknya pengaduan dan permasalahan yang disampikan ke DPP APNI.
“Kalau dipikir, memang betul pihak APNI sendiri bisa dikatakan “klinik” atau “rumah sakit” karena yang datang itu kebanyakan keluh kesah dan masalah konflik,” kata Meidy Katrin Lengkey.
Meidy menyampaikan, telah ditetapkannya Harga Patokan Mineral (HPM) Nikel dalam Permen ESDM Nomor 11 Tahun 2020, juga merupakan hasil keluh kesah para pengusaha nikel yang kemudian disampaikan dan diperjuangkan APNI ke pemerintah. HPM tersebut untuk ketentuan transaksi jual beli nikel kadar tinggi atau saprolit.
“Saat ini, APNI meminta pemerintah memasukkan HPM Limonit (nikel kadar rendah), yang saat ini sedang dalam pembahasan antarkementerian. Menyusul APNI juga meminta pemerintah menetapkan harga kobalt, kandungan unsur logam lain yang ada di nikel laterit. Karena, baik limonit maupun kandungan logam nikel lainnya dibutuhkan untuk bahan baku baterai kendaraan listrik,” kata Meidy Katrin Lengkey di acara diskusi webinar yang diadakan oleh Hukum Online, Kamis (20/10/2022).
Ia mengutarakan, limonit termasuk kobalt sudah ada permintaan seiring sudah berdirinya beberapa pabrik hidrometalurgi untuk diolah menjadi MHP dan nickel sulfate. Produk olahan nikel ini nanti diolah kembali menjadi katoda baterai listrik.
Selain itu, dua bulan lalu permintaan APNI untuk menurunkan royalti dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) untuk bijih nikel kadar rendah.
“Jadi royalti limonit di bawah kadar 1,5% dari semula PNBP-nya 10% menjadi 2%,” ujarnya.
Baru-baru ini, sambung Meidy Katrin Lengkey, APNI meminta penjelasan pemerintah terkait “tsunami” pencabutan 2.0788 Izin Usaha Pertambangan (IUP). Ia berpandangan, regulasi SK Pencabutan IUP antara Satgas Percepatan Investasi dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Minerba tumpang tindih. Mekanisme pencabutan IUP itu pun dinilai kurang koordinasi yang baik antara Kementerian Investasi/BKPM dengan Kementerian ESDM.
“Satu sisi Kementerian ESDM masih memberikan surat teguran kepada perusahaan nikel, di sisi lain Kementerian Investasi/BKPM sudah mengeluarkan SK Pencabutan IUP perusahaan tersebut,” ungkapnya.
Meidy Katrin Lengkey menyampaikan, di internal APNI ada beberapa pengacara yang ahli di bidang hukum pertambangan. Mereka membantu APNI di bidang teknis hukum yang bukan hanya pada hukum pidana dan perdata saja melainkan hukum bisnis untuk menghadapi persoalan tumpang tindih, kriminalisasi dalam melayani para pengusaha menjalankan usahanya.
Kegiatan Pendidikan dan Pelatihan
APNI sendiri adalah organisasi untuk para pengusaha penambang nikel yang dibentuk oleh Ditjen Minerba, Kementerian ESDM. Fungsi dan tujuan APNI adalah mengawasi, membina, dan memberikan masukan kepada pemerintah maupun para pengusaha tambang.
Untuk keanggotaan APNI terbagi menjadi dua, yaitu anggota utama dari para pengusaha perusahaan pertambangan nikel pemilik IUP yang sudah terdaftar di MODI Kementerian ESDM. Kedua, anggota pendamping, yang merupakan perusahaan yang bergerak di bidang pertambangan nikel, baik kontraktor, trader, maupun smelter.
Selain pendampingan, APNI juga melakukan berbagai kegiatan pendidikan dan pelatihan. Seperti telah menyelenggarakan Training of Trainers CPI Nikel, diklat tentang penyusunan RKAB, Pajak Badan Perusahaan Pertambangan, PNBP, dan Perizinan Pertambangan yang terkolaborasi dengan OSS.
Saat ini APNI banyak menerima undangan di berbagai seminar sebagai pembicara, seperti Outlook Nikel Indonesia baik hulu maupun hilir dalam negeri maupun luar negeri. APNI memberikan gambaran, pandangan, dan gagasan pembangunan industri pertambangan nikel di Indonesia.
“Bulan depan kita juga akan mengadakan Training of Trainers Analisis Kuantitas dan Kualitas Mineral Nikel. Mudah-mudahan diklat ToT ini dapat kita selenggarakan per tiga bulan dalam satu tahun. Untuk training, semua fokus ke bidang pertambangan hulu dan hilir, pernikelan Indonesia,” tuturnya.
Kemudian, Meidy menjelaskan bahwa nanti APNI akan melaksanakan event terbesar dan pertama perdana internasional, yaitu Nikel Global Summit yang akan diikuti puluhan negara. Tujuan dari acara ini untuk mendukung green energy dan berharap ke depan Pemerintah Indonesia bisa menentukan indeks harga komoditas sendiri.
“Sudah waktunya Indonesia berperan dalam penentuan indeks harga komoditas sendiri, khususnya untuk komoditas nikel. Karena Indonesia memiliki kandungan dan cadangan nikel terbesar di dunia,” jelasnya.
Sementara itu, praktisi pertambangan, Dr. Ida Sumarmasih, S.H., M.Kn., mengungkapkan masih ditemukannya tidak kesesuaian pembelian nikel oleh pihak industri hilir. Padahal ketentuan tersebut sudah tertuang dalam Permen ESDM Nomor 11 Tahun 2020 tentang HPM. Menteri ESDM juga mengeluarkan Kepmen ESDM terkait HMA yang menjadi dasar HPM yang berlaku di Indonesia setiap bulan.
Dalam pelaksanaannya di lapangan, ungkap Ida Sumarsih, masih ditemui adanya perusahaan smelter yang tidak mematuhi ketentuan HPM Nikel. Oleh karena itu, diperlukan sebuah pengawasan dari badan hukum yang bisa mengimplentasikan pelaksanaan HPM tersebut.
Wanita yang akrab disapa Imelda ini juga mengutarakan dugaan adanya dualisme perizinan yang dimilki smelter, ada IUP OP dan IUP OPK yang berada di ESDM. Sehingga harus ada pengawasan dari kementerian yang berwenang terkait perizinan tersebut.
“Apakah pengawasan dan penegakan hukum itu akan melalui, misalnya dari IUI Kementerian Perindustrian. Termasuk secara tegas dilakukan pengawasan dan penegakan hukum terhadap penyelundupan mineral logam dari pertambangan ilegal atau Pelakor,” tukas wanita dari Bidang Notaris dan Hukum APNI ini.
Menurut Imelda, HPM adalah standar bagi sebuah perusahaan pertambangan, di mana perusahaan akan membayar PNBP ke negara. Misalkan HPM nikel senilai US$ 30.000 per ton, dan berapa persen perusahaan harus membayar PNBP dari HPM. Namun, penjualan perusahaan pertambangan itu tidak sesuai dikarenakan mereka harus menggunakan jasa trader atau supplier, jadi tidak langsung ke user atau pabrik.
“Itu lah yang membuat rugi bagi perusahaan pertambangan nikel di Indonesia dari sisi HPM,” ujarnya.
Ia menambahkan, dari sisi badan usaha masih ada praktik nomine yang sampai sekarang belum ada pengawasan dan penegakan hukum, meskipun terdapat Undang-Undang Perusahaan Pasal 48 ayat (1) yang menyatakan bahwa nomine-nomine batal dengan hukum, namun kenyataannya masih ada.
“Ini tugas kita, bagaimana ornag-ornag hukum ini, apakah membiarkan saja masalah ini terus terjadi atau turut serta memberikan sumbangan keilmuan dari sisi hukum bagi negara kita,” katanya. (Fia/Shiddiq/Editor SBH)