NIKEL.CO.ID – Diberkati dengan cadangan nikel yang melimpah, pemerintah Indonesia berharap negara bisa memosisikan diri sebagai pusat produksi kendaraan listrik global.
Pemerintah Indonesia telah memberlakukan serangkaian larangan ekspor bijih nikel mentah demi mendorong investasi miliaran dolar ke kapasitas kilang hilir. Nikel olahan merupakan input penting dalam pembuatan baterai lithium-ion, dan tujuan akhir pemerintah Indonesia adalah menjadi pusat global untuk produksi kendaraan listrik dan baterai yang menggerakkannya.
Saat ini, mata rantai yang hilang dalam rantai pasokan adalah produksi massal baterai kendaraan listrik dalam negeri. Hanya sedikit perusahaan di dunia yang membuat baterai ini. Bagaimana Indonesia meyakinkan mereka untuk membuka fasilitas produksi lokal yang dapat menghasilkan baterai dalam skala besar?
Para pemimpin industri global seperti CATL China dan LG Group dari Korea Selatan telah menandatangani perjanjian, di mana mereka bermaksud untuk menginvestasikan dana dalam pembuatan baterai di Indonesia, meskipun laporan media tidak merinci seberapa mengikat atau tegas komitmen ini.
Namun, berdasarkan pengalaman Indonesia di masa lalu dalam mengembangkan bisnis otomotifnya, dapat diketahui beberapa hal tentang apa yang mungkin membuat baterai buatan lokal menjadi pilihan yang menarik bagi perusahaan asing.
Hal utamanya adalah, meskipun industri ini memiliki keunggulan bawaan, yakni akses ke nikel yang dilebur secara lokal, dan deposit bijih nikel mentah yang besar, industri ini masih perlu bersaing secara global, catat James Guild di The Diplomat.
Dalam jangka panjang, CATL tidak akan mau memproduksi baterai secara lokal jika tidak berkualitas tinggi dan lebih mahal untuk dibuat di Indonesia daripada pusat produksi yang sebanding di negara lain.
Oleh karena itu, menurut Guild, pemerintah perlu memastikan adanya lingkungan peraturan yang kondusif, yang menciptakan insentif investasi yang menarik dan memungkinkan kebebasan produsen untuk mendapatkan input yang paling hemat biaya daripada memaksakan penggunaan konten lokal yang mungkin membuat produk jadi tidak efisien atau tidak kompetitif.
Pengalaman Indonesia dengan industri mobil juga menunjukkan bahwa perusahaan asing akan bersedia untuk mentransfer keterampilan dan teknologi penting jika mereka tidak harus tunduk pada aturan kepemilikan yang terbatas. Artinya, jika CATL mendirikan anak perusahaan untuk membuat baterai kendaraan listrik di Indonesia, mereka akan lebih bersedia untuk berbagi teknologi jika tidak dipaksa mengambil peran kepemilikan minoritas.
Namun kepemilikan asing, khususnya dalam industri yang begitu erat kaitannya dengan sumber daya alam, dapat menjadi ladang ranjau politik, Guild memperingatkan. Ada arus kuat nasionalisme ekonomi dan sumber daya di Indonesia yang merasa jika nikel untuk baterai itu keluar dari tanah Indonesia, maka keuntungan yang diperoleh dari sumber daya tersebut harus dimiliki oleh rakyat Indonesia.
Ini adalah kekuatan pendorong di balik Indonesia Battery Corporation (IBC) yang baru dibentuk. IBC adalah kemitraan empat BUMN: PLN, Pertamina, ANTAM, dan Inalum. Karena gagasan IBC masih sangat baru, peran pasti yang akan dimainkannya dalam pembuatan baterai belum jelas. Namun hal itu tentu menunjukkan negara ingin menegaskan dirinya dalam struktur kepemilikan industri dalam kapasitas tertentu.
Guild menerangkan, pembentukan Indonesia Battery Corporation harus dilihat dari sikap Indonesia yang semakin tegas terhadap nasionalisme sumber daya. Seperti yang diungkapkan oleh Eve Warburton dalam disertasinya, Indonesia akhir-akhir ini menekankan slogan “sumber daya kita, aturan kita”.
Dalam hal pengendalian bijih mentah, lebih mudah menggunakan instrumen tumpul seperti larangan ekspor untuk mendapatkan apa yang Anda inginkan. Hal ini terlihat dari cara pemerintah Indonesia baru-baru ini menggunakan pengaruhnya untuk menegosiasikan 20 persen kepemilikan saham di penambang nikel PT Vale.
Namun, seiring Anda bergerak lebih jauh ke atas rantai pasokan (misalnya ke dalam pembuatan baterai lithium-ion), pengaruh dari nasionalisme sumber daya saja menjadi kurang kuat, tulis Guild. Anda harus bergantung pada perusahaan luar, seperti CATL, untuk berbagi teknologi dan pengetahuan manufaktur mereka.
Namun mereka mungkin tidak terlalu ingin bermitra dengan perusahaan baterai milik negara yang peran pastinya dalam industri ini tidak jelas, dan yang belum pernah membuat baterai sebelumnya.
Semua ini berarti bahwa kondisi dasar telah tersedia bagi Indonesia untuk menjadi pusat produksi baterai lithium-ion dan kendaraan listrik, menurut Guild. Terwujudnya cita-cita tersebut akan sangat bergantung pada apakah pembuat kebijakan telah menginternalisasi pelajaran yang dipetik dari industri otomotif selama beberapa dekade terakhir. Peran yang pada akhirnya dimainkan oleh IBC dalam industri baterai Indonesia akan mengungkap itu.
Sumber: matamatapolitik.com