Beranda Asosiasi Pertambangan Kenaikan Tarif Royalti Pertambangan, APNI: Dampak dan Strategi Kolaborasi untuk Industri Pertambangan...

Kenaikan Tarif Royalti Pertambangan, APNI: Dampak dan Strategi Kolaborasi untuk Industri Pertambangan Nasional

2323
0
Sekum APNI Meidy Katrin Lengkey saat memaparkan materi diskusi Kenaikan Tarif Royalti Pertambangan Nikel: Dampak dan Strategi Kolaborasi, Hotel Sultan, Jakarta, Senin (17/3/2025). Dok. MNI

NIKEL.CO.ID, JAKARTA – Sekretaris Umum Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Meidy Katrin Lengkey, menyampaikan pemaparan dalam diskusi yang mengangkat tema “Kenaikan Tarif Royalti Pertambangan Nikel: Dampak dan Strategi Kolaborasi”.

Diskusi ini dihadiri oleh seluruh pelaku usaha pertambangan nikel di Indonesia, yang membahas berbagai dampak signifikan terkait wacana kenaikan tarif royalti yang dapat mempengaruhi industri pertambangan nasional.

Menurut Meidy, pembahasan kenaikan tarif royalti ini tidak hanya menyentuh aspek ekonomi, namun juga berhubungan erat dengan regulasi dan kebijakan pemerintah yang berpotensi mempengaruhi daya saing sektor pertambangan.

“Kenaikan tarif royalti ini tentu akan memberikan dampak besar, terutama terhadap biaya produksi. Kita perlu melihat apakah kebijakan ini dapat menciptakan iklim investasi yang kondusif bagi sektor ini, atau justru memberikan beban yang lebih besar,” kata Meidy dalam Diskusi Wacana Kenaikan Tarif Royalti Pertambangan Nikel yang diadakan oleh APNI di hotel Sultan, Jakarta, Senin (17/3/2025).

Dalam acara yang bertujuan menyatukan aspirasi dan analisis dari berbagai pemangku kepentingan ini, APNI juga menekankan pentingnya peran kolaborasi antara pemerintah, pelaku usaha, serta lembaga internasional dalam menyusun metodologi Environmental, Social, and Governance (ESG) yang relevan untuk Indonesia.

“Kami akan menyusun ESG methodology, dan kami akan mencoba mengganti pemerintah untuk membuat ESG methodology Indonesia. Kami akan mengadakan forum metodologi, menghadirkan pelaku dunia seperti Tesla, Mercedes, Hyundai, BYD, hingga lembaga internasional seperti LME, SMM, dan Fastmarket. Semua pihak ini akan hadir di Indonesia pada bulan Juni untuk membahas hal ini,” ujarnya.

Pentingnya kolaborasi ini, menurutnya tidak hanya bertujuan untuk meningkatkan kesadaran global terhadap standar ESG Indonesia, tetapi juga sebagai langkah untuk menjaga keberlanjutan industri nikel yang semakin penting bagi dunia, terutama dalam mendukung transisi energi hijau.

Ia kemudian mengungkapkan bahwa APNI telah mengirimkan sebuah kuesioner kepada seluruh pelaku industri pertambangan nikel, termasuk smelter, untuk mengumpulkan masukan terkait wacana kenaikan tarif royalti ini.

“Kami telah membagikan kuesioner kepada semua pelaku usaha, baik yang terintegrasi maupun yang non-integrasi, untuk mendapatkan gambaran lebih lengkap tentang dampak kebijakan ini terhadap biaya produksi dan keberlanjutan perusahaan,” jelasnya.

Berdasarkan simulasi yang dilakukan APNI, Meidy mengungkapkan, jika tarif royalti dinaikkan hingga 14 persen, beberapa perusahaan nikel diprediksi akan menghadapi kerugian yang cukup signifikan.

“Jika tarif royalti dinaikkan 14 persen, ada perusahaan yang diprediksi akan rugi. Bahkan, beberapa perusahaan mempertimbangkan untuk beralih ke sektor lain yang lebih menguntungkan, seperti pertanian,” ujarnya.

Hal ini mencerminkan besarnya tantangan yang dihadapi oleh para pelaku usaha, terutama yang beroperasi di wilayah dengan cadangan nikel yang tidak terlalu besar atau dengan kadar yang rendah.

Selain itu, dia juga menyoroti pentingnya transparansi dalam pengelolaan iuran dan kewajiban lainnya, seperti PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) dan IPPKH (Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan).

“Dulu, pemerintah hanya meminta kontribusi sekitar Rp20 juta hingga Rp25 juta, namun sekarang, masyarakat sudah semakin pintar dalam menuntut hak mereka. Oleh karena itu, kewajiban-kewajiban ini harus dipertimbangkan dengan matang,” tambahnya.

Diskusi ini diharapkan dapat menghasilkan rekomendasi yang konstruktif dan menjadi bahan masukan bagi pemerintah dalam merumuskan kebijakan yang berimbang dan mendukung keberlanjutan industri pertambangan nikel di Indonesia.

APNI juga berkomitmen untuk terus mendorong kolaborasi antara semua pemangku kepentingan, baik di tingkat nasional maupun internasional, untuk mengembangkan sektor pertambangan yang lebih berkelanjutan dan berdaya saing tinggi. (Shiddiq)