
NIKEL.CO.ID, JAKARTA – Dalam beberapa tahun terakhir, sektor pertambangan nikel di Indonesia mengalami perkembangan signifikan, baik dari segi produksi maupun kontribusinya terhadap pendapatan negara. Salah satu faktor kunci yang memengaruhi pendapatan negara adalah realisasi royalti nikel, yang dihitung dari bijih nikel yang diproduksi dan diperdagangkan.
Sekretaris Umum Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Meidy Katrin Lengkey, mengatakan royalti nikel yang dibayar Indonesia saat ini adalah sebesar 10% dari transaksi bijih nikel.
“Di awal saya sudah jelaskan, bahwa perhitungan royalti ini didasarkan pada transaksi CIF, bukan FOB. Hal ini penting karena ada potensi kehilangan penerimaan negara jika transaksi dilakukan berdasarkan FOB ke CIF,” ungkap Meidy dalam acara Maybank, Leader Forum di Maybank Oval Room Central Senayan, Jakarta, Jumat (14/3/2025).
Lebih lanjut, ia menuturkan, dalam beberapa tahun terakhir, realisasi royalti nikel terus mengalami peningkatan. Pada 2022, royalti nikel tercatat mencapai Rp12,72 triliun, yang mencatatkan angka lebih tinggi dibandingkan 2023 yang turun menjadi sekitar Rp10,96 triliun. Namun, jika dilihat secara keseluruhan, ada dua jenis produk nikel utama yang berkontribusi pada royalti, yakni Nickel Matte dan Ferronickel, yang pengelolaannya berbeda.
Dia juga menjelaskan, perbedaan antara pabrik nikel terintegrasi dan non-terintegrasi. Pabrik terintegrasi adalah pabrik yang memiliki tambang dan smelter (pabrik pemurnian nikel) sendiri, seperti PT Vale dan kawasan IMIP (Indonesia Morowali Industrial Park) serta IWIP (Weda Bay Industrial Park).
“Integrasi ini penting, karena tambang mereka menggunakan smelter mereka sendiri, artinya royalti hanya dibayar satu kali untuk output produk mereka,” jelasnya.
Sebaliknya, menurut Meidy, pabrik non-terintegrasi tidak memiliki tambang dan smelter sendiri, sehingga mereka mengambil bijih nikel dari tambang luar yang tidak berafiliasi langsung. Royalti untuk pabrik jenis ini dikenakan lebih kompleks, karena pembayaran dilakukan berdasarkan output produk akhir yang dihasilkan.
Indonesia sebagai salah satu penghasil nikel terbesar di dunia, terus berusaha menjaga kestabilan harga mineral acuan, meskipun di pasar internasional terjadi fluktuasi yang cukup tajam. Berdasarkan Peraturan Menteri ESDM No. 11 Tahun 2020, harga nikel acuan di Indonesia menggunakan patokan LME (London Metal Exchange), namun dengan formula korektif yang disesuaikan dengan kadar nikel.
Sumber tersebut menambahkan bahwa sejak 2020, harga nikel internasional sempat mengalami lonjakan drastis hingga mencapai USD 25.000 per ton, namun penurunan signifikan mulai terjadi pada 2023.
“Harga nikel dunia turun terus-menerus hingga hari ini, dan perbedaan harga untuk bijih nikel Indonesia dengan harga internasional bisa mencapai 40-50 persen,” katanya.
Di sisi lain, dia mengungkapkan, meskipun Indonesia dikenal memiliki cadangan nikel terbesar di dunia, namun ia tetap memperingatkan bahwa ketersediaan cadangan nikel untuk jangka panjang mungkin tidak cukup untuk memenuhi permintaan global yang terus meningkat.
“Posisi Indonesia saat ini masih nomor satu dunia dalam hal cadangan nikel, namun jika dilihat ke depan, sepertinya cadangan kita tidak akan cukup,” tutur dia. (Shiddiq/Lily)