NIKEL.CO.ID, JAKARTA – Pemerintah Indonesia tengah melakukan penyesuaian royalti dalam sektor pertambangan, terutama pada batu bara dan nikel, dengan fokus utama pada keberlanjutan usaha dan keseimbangan ekonomi antara pelaku industri dan penerimaan negara.
Penyesuaian ini dilakukan untuk mengantisipasi penurunan harga komoditas yang berpengaruh langsung terhadap biaya produksi dan pendapatan negara.
Dengan langkah-langkah tersebut, pemerintah berusaha memastikan bahwa sektor pertambangan Indonesia tetap kompetitif di pasar global, sambil menjaga keberlanjutan usaha dan penerimaan negara yang adil dari hasil pengelolaan sumber daya alam yang ada. ekonomi antara pelaku industri dan penerimaan negara.
Penyesuaian ini dilakukan untuk mengantisipasi penurunan harga komoditas yang berpengaruh langsung terhadap biaya produksi dan pendapatan negara.
Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Yuliot Tanjung, mengatakan bahwa tujuan utama penyesuaian royalti adalah menjaga daya saing sektor pertambangan, agar pelaku usaha tidak terbebani dengan biaya tambahan yang dapat mengancam kelangsungan usaha mereka.
“Keseimbangan antara biaya produksi dan penerimaan negara sangat penting. Kami tidak ingin ada pembebanan berlebih kepada pelaku usaha, namun di sisi lain, negara juga harus tetap mendapatkan pendapatan yang adil dari kegiatan pertambangan,” ujar Yuliot di kantor Kementerian ESDM Jakarta Jumat (14/3/2025).
Menurutnya, dalam hal batu bara, harga komoditas ini sempat meroket hingga lebih dari US$300 per ton, namun kini mengalami penurunan, terutama untuk batu bara dengan nilai kalorinya di atas 6.000.
“Penurunan harga batu bara ini membuat biaya produksi semakin tinggi, sementara pendapatan dari sektor ini justru menurun,” tambahnya.
Oleh karena itu, penyesuaian royalti menjadi langkah penting untuk memastikan sektor batu bara tetap kompetitif dan berkelanjutan tanpa memberatkan pihak manapun.
Saat ini, proses penyesuaian royalti batu bara masih dalam tahap pengundangan setelah substansi peraturan terkait telah disepakati.
“Royalti batu bara akan dihitung berdasarkan persentase tertentu dan diumumkan setelah pengundangan selesai,” katanya.
Selain batu bara, sektor nikel juga menjadi perhatian utama dalam penyesuaian royalti. Kenaikan tarif royalti nikel ini sedang dalam kajian oleh pemerintah, dengan beberapa aspek peraturan terkait sektor Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan Peraturan Pemerintah (PP) yang sedang direview.
“Penyesuaian ini termasuk dalam upaya pemerintah untuk meningkatkan penerimaan negara tanpa membebani sektor industri, terutama di tengah upaya Indonesia untuk menjadi pusat pengolahan nikel terbesar di dunia,” tambahnya.
Nikel sendiri, yang sangat strategis untuk industri baterai kendaraan listrik dan produk teknologi lainnya, menjadi sektor yang sangat vital. Pemerintah juga tengah mengejar target implementasi B50 pada tahun 2026, yang akan mengurangi ketergantungan Indonesia pada impor metanol. Namun, ketersediaan metanol dalam negeri masih terbatas.
“Kebutuhan metanol dalam negeri sekitar 2,3 juta ton, namun produksi domestik hanya mampu memenuhi sekitar 300 ribu ton. Oleh karena itu, proyek strategis di Bojonegoro untuk memproduksi metanol dalam negeri menjadi sangat penting,” ungkapnya.
Diharapkan, dengan adanya pembangunan pabrik metanol berbahan dasar gas yang direncanakan selesai pada akhir tahun 2027, Indonesia dapat mengurangi ketergantungan pada impor dan meningkatkan ketahanan energi nasional.
“Proyek ini juga akan mendukung kebijakan energi berkelanjutan dan memperkuat sektor industri hilir yang berbasis pada sumber daya alam Indonesia,” tutupnya.
Dengan langkah-langkah tersebut, pemerintah berusaha memastikan bahwa sektor pertambangan Indonesia tetap kompetitif di pasar global, sambil menjaga keberlanjutan usaha dan penerimaan negara yang adil dari hasil pengelolaan sumber daya alam yang ada. (Shiddiq)