NIKEL.CO.ID, JAKARTA — Mineral pengikut nikel, yakni kobalt, cukup bernilai. Kobalt dapat diberi nilai royalt dengan besaran 2% hingga 5%. Tentu saja, hal itu akan menambah penghasilan bagi negara.
Sekretaris Umum Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Meidy Katrin Lengkey, menegaskan hal itu beberapa waktu lalu.
“Tentu negara akan ada penghasilan tambahan dan angkanya lumayan signifikan. Harga kobalt dua kali lipat daripada harga nikel walaupun kandungan kobalt dalam nikel itu kecil, hanya 0,1%,” kata Meidy, sebagaimana dikutip nikel.co.id, Kamis (13/3/2025).
Sayangnya, hingga saat ini belum ada rumusan formula harga bijih kobalt. Diketahui, pemerintah hingga kini baru menerapkan harga mineral acuan (HMA) kobalt saja. Dirinya mengatakan, langkah penerapan penyesuaian tarif royalti sektor mineral dan batu bara (minerba) ini mampu menjadi salah satu solusi yang baik.
Sekum APNI itu memperkirakan Indonesia bisa mendapat tambahan pendapatan negara hingga US$600 juta jika kobalt—sebagai mineral ikutan nikel—dikenai tarif iuran royalti minerba.
“Penerimaan royalti dari kobalt saja bisa didapatkan sekitar US$600 juta,” katanya.
Menurut dia, dengan menaikkan royalti dengan sistem tarif progresif terhadap mineral logam dasar, pemerintah dapat menerapkan royalti baru terhadap mineral-mineral ikutan yang selama ini belum terpapar tarif minerba.
“Mineral ikutan itu ada berbagai macam, misalnya kobalt, lalu fero [Fe atau besi]. Itu kan ada produknya dan mineral pengikut itu juga punya value. Dia bukan mineral kotor, tetapi punya nilai seperti kobalt yang bisa diolah sebagai bahan baku prekursor katode untuk baterai NMC (nickel cobalt manganese),” terangnya.
Pada Rabu, London Metal Exchange (LME) memperdagangkan kobalt di harga US$29.210/ton. Harga ini naik 5,26%. Sebelumnya harga berada di US$16.493/ton atau berbanding 0,35%. Ditjen Minerba mengusulkan agar kobalt dikenai iuran royalti single tariff sebesar 1,5% dan kobalt ikutan nickel matte dikenai royalti single tariff 2%. Meidy menilai usulan tersebut belum mencakup formulasi harga bijih kobalt, sehingga penerapan royaltinya berpotensi rancu.
“Misalnya begini, saya menjual bijih nikel (kadar 1,5%) dengan HMA US$30/ton. Namun, di situ ada kandungan kobaltnya 0,1%. Nah, itu formulasi perhitungan (harga kobalt ikutan untuk menentukan royalti) bagaimana? Karena HMA kobalt ada, tetapi kan selama ini belum ada transaksinya,” katanya.
“Kalau itu diperhitungkan, akan ada potensi penambahan penerimaan negara kan. Negara bisa mendapatkan duit, tetapi tidak dengan menekan perusahaan atau pengusaha. Fair gitu loh. Kalau membebani perusahaan, nanti tidak ada lagi yang mau produksi,” ujarnya.
Sekadar catatan, realisasi setoran PNBP dari sektor energi dan sumber daya mineral (ESDM) sepanjang 2024 anjlok 10% secara year on year (yoy) menjadi Rp269,5 triliun.Meski demikian, realisasi tersebut masih melampaui atau 115% dari target yang dicanangkan tahun lalu sebesar 234,2 triliun.
Subsektor minerba atau pertambangan berkontribusi paling besar dengan setoran PNBP mencapai Rp140,5 triliun atau menyumbang 46,79%. Menteri ESDM Bahlil Lahadalia pada bulan lalu tidak menampik penurunan PNBP tersebut dipengaruhi oleh sektor minerba akibat harga komoditas global yang sedang menurun. (Lili)