
NIKEL.CO.ID, JAKARTA — Pemerintah Indonesia tengah menggodok revisi Undang-Undang (UU) No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba), yang mencakup pemberian konsesi tambang kepada usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), organisasi kemasyarakatan (Ormas) keagamaan, dan perguruan tinggi. Langkah ini, meski bertujuan untuk memperluas akses bagi sektor-sektor tersebut dalam industri tambang, menimbulkan berbagai tantangan dan kekhawatiran.
Sekretaris Umum (Sekum) Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Meidy Katrin Lengkey, mengatakan, para pengusaha nikel lokal merasa khawatir dengan kebijakan ini. Mereka menilai bahwa kebijakan tersebut bisa berisiko menambah ketidakpastian di pasar tambang yang sudah mengalami oversupply, yang berimbas pada penurunan harga nikel yang cukup signifikan sejak awal 2024.
“Pemerintah ingin memberikan konsesi tambang kepada Ormas keagamaan, perguruan tinggi (PT), dan UMKM, tetapi kita harus mempertimbangkan kesiapan mereka dalam mengelola tambang,” jelas Meidy dalam pemaparan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Baleg DPR RI dengan APNI, Nahdhatul Ulama, dan Muhammadiyah, di Gedung Nusantara 1 DPR RI, Senayan, Jakarta, Rabu (22/1/2025).
APNI mencatat bahwa Indonesia saat ini menguasai 63% produksi nikel dunia, namun tantangan terbesar adalah mengelola kualitas produksi dan menjaga harga yang wajar di tengah penurunan harga nikel yang tajam.
“Saat ini, ada sekitar 395 Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang disetujui dan produksi diperkirakan meningkat pada 2025, meskipun ada penurunan harga yang mengancam,” tambah Sekjen APNI tersebut.
Menurutnya, kebijakan pembagian konsesi tambang kepada UMKM, ormas, dan perguruan tinggi belum tentu efektif mengingat banyak pihak yang belum memiliki pengalaman dan kapasitas finansial untuk menangani industri tambang yang kompleks.
“Bagaimana UMKM atau organisasi yang tidak memiliki pengalaman di bidang tambang dapat menghadapi tantangan yang kami hadapi? Sementara kami, yang sudah bertahun-tahun berkecimpung dalam industri ini, bahkan masih menghadapi kesulitan,” tegasnya.
Lebih lanjut, dia juga menyoroti adanya disparitas besar antara harga tambang lokal dan internasional yang menyebabkan potensi kehilangan pendapatan negara hingga miliaran dolar.
“Perbedaan harga antara bijih nikel Indonesia dan harga internasional sangat besar, bahkan mencapai 60%. Hal ini mengakibatkan potensi penerimaan negara yang hilang dalam jumlah besar,” ujarnya.
Sementara itu, Ketua Umum APNI, Komjen Pol. (Purn.) Drs. Nanan Soekarna, juga mengingatkan bahwa kebijakan ini dapat berdampak buruk terhadap pengelolaan tambang di masa depan.
“Para pelaku usaha yang sudah memiliki kapasitas dan pengalaman di sektor ini merasa bahwa kebijakan pemberian konsesi tambang kepada sektor lain yang belum siap bisa merugikan industri secara keseluruhan,” ujar Nanan masih dalam waktu yang sama.
Di sisi lain, beberapa pihak yang mendukung kebijakan ini menyebutkan bahwa dengan memberikan kesempatan kepada UMKM dan perguruan tinggi, sektor pertambangan Indonesia akan lebih inklusif, menciptakan lebih banyak lapangan kerja, dan membuka peluang penelitian serta inovasi dalam pengelolaan tambang yang berkelanjutan.
Namun, di tengah perdebatan ini, Meidy kembali menegaskan, para pengusaha tambang meminta pemerintah untuk mempertimbangkan kembali kebijakan tersebut dengan lebih matang. Mereka menekankan pentingnya adanya persyaratan yang jelas dan kesiapan dari pihak yang akan diberikan konsesi untuk mengelola tambang dengan baik. Apabila tidak diatur dengan hati-hati, kebijakan ini justru berisiko memperburuk situasi yang sudah cukup kompleks di industri tambang Indonesia.
Meskipun Indonesia saat ini menjadi salah satu pemain utama dalam produksi nikel dunia, tantangan besar di bidang regulasi, produksi, dan harga tetap menjadi perhatian serius.
“Kami berharap pemerintah bisa mengedepankan keseimbangan antara kepentingan ekonomi dan keberlanjutan industri tambang Indonesia,” ujarnya. (Shiddiq/Lili)